REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin menilai, Ketua DPR RI Setya Novanto semestinya mengajukan pengunduran diri dari jabatannya atau Partai Golkar menyampaikan usulan pergantian Ketua DPR.
Ujang mengatakan hal itu perlu dilakukan untuk menjaga marwah lembaga legislatif tersebut setelah Novanto ditahan KPK pada 17 November lalu sampai 6 Desember mendatang karena tersangkut kasus dugaan korupsi proyek KTP-El.
"Dalam UU MD3 memang dijelaskan bahwa ketua DPR RI bisa dinonaktifkan jika sudah menjadi terdakwa. Walaupun Setnov belum menjadi terdakwa. Demi menjaga marwah DPR RI, harusnya Setnov mengundurkan diri atau partai Golkar mengusulkan ketua yang baru," katanya kepada Republika.co.id, Senin (20/11).
Namun, Ujang mengakui kondisi saat ini tidak memungkinkan bagi fraksi-fraksi di DPR untuk mendorong pergantian Novanto dari jabatannya. Ia menilai fraksi di DPR lebih memilih menunggu perkembangan status Novanto pada kasus KTP-El.
Padahal menurutnya, seharusnya semua fraksi mendorong pergantian tersebut supaya citra DPR terjaga. "Sepertinya mereka (fraksi di DPR) akan kompak menunggu hingga Setnov menjadi terdakwa. Walaupun citra DPR hancur," tutur dia.
Novanto resmi ditahan KPK selama 20 hari terhitung pada 17 November sampai 6 Desember 2017. Penahanan ini kemudian dibantarkan atau ditunda lantaran Novanto harus menjalani perawaran di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Salemba, Jakarta Pusat. Pembantaran tidak menambah masa penahanan.
Pada Ahad (19/11) malam, Novanto dibawa ke KPK untuk menjalani pemeriksaan administratif sebelum ditahan. Dia sampai di KPK pada sekitar 23.30 WIB. Setelah pemeriksaan administratif selesai pada Senin (20/11) dini hari sekitar pukul 01.13 WIB, Novanto kemudian ditahan di Rutan KPK yang berada di belakang gedung Merah Putih KPK.