REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah mengatakan, saat ini institusinya tengah mempelajari dokumen praperadilan atas penetapan tersangka terhadap Ketua DPR RI Setya Novanto. Salah satu yang dipelajari adalah alasan pihak Novanto menyebut bahwa penyidikan yang dilakukan KPK nebis in idem (tidak atau jangan dua kali yang sama).
"Proses penyidikan kasus kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el) ini masih terus berjalan. Saat ini ada dua tim yang berjalan paralel. Tim dari biro hukum ditugaskan untuk mempelajari dokumen praperadilan yang telah diterima KPK, termasuk salah satu alasan pihak SN (Setya Novanto) bahwa penyidikan yang dilakukan KPK nebis in idem," ujarnya, Rabu (22/11).
Febri menambahkan, tim yang kedua, yakni dari penindakan, tetap menangani pokok perkara. KPK, lanjutnya, tetap akan menangani perkara kasus KTP-El itu dengan hati-hati dan mengacu pada bukti. Lembaga antirasuah tersebut juga tidak mau terburu-buru dalam penanganan kasus yang diindikasikan merugikan negara Rp 2,3 triliun itu.
"Tim di penindakan tetap menangani pokok perkara. KPK tidak ingin tergesa-gesa dalam menangani kasus KTP-El ini. Kami tetap akan lakukan dengan hati-hati dan menjadikan kekuatan bukti sebagai tolak ukur utama," ujarnya.
Dalam hukum pidana nasional di Indonesia, asas ne bis in idem ini dapat ditemui di dalam Pasal 76 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu seseorang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang telah mendapat putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Novanto kembali mengajukan praperadilan sah atau tidaknya penetapan tersangka atas dirinya dengan termohon KPK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ini adalah kali kedua Novanto mengajukan praperadilan. Sebelumnya status tersangkanya digugurkan oleh Hakim Tunggal Cepi Iskandar pada (29/9) lalu.
PN Jakarta Selatan telah menjadwalkan sidang perdana gugatan praperadilan Novanto pada 30 November 2017 dengan menunjuk Hakim Tunggal Kusno yang merupakan Wakil Ketua Pengadilan PN Jaksel.