REPUBLIKA.CO.ID, MENTAWAI - Keberadaan seni tato tubuh atau titi' di kalangan masyarakat Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat kini semakin jarang ditemui. Tak mudah menjumpai penduduk usia muda yang tubuhnya dihisasi dengan tato, yang erat kaitannya dengan kepercayaan luluhur 'Arat Sabulungan'.
Seperti di Dusun Gorottai, Desa Malancan, Kecamatan Siberut Utara, Mentawai. Bagi 30-an jiwa yang mendiami dusun kecil di tepi Sungai Terekan itu, seni tato Mentawai telah lama punah ikut terkubur dengan jasad kakek-nenek mereka.
Seni tato di Mentawai merupakan salah satu yang tertua di dunia. Hal ini pula yang menarik banyak turis atau akademisi berbondong-bondong ke Mentawai untuk melihat dari dekat kekayaan budaya yang ada. Lantas faktor apa yang menyusutkan eksistensi seni tato di Mentawai?
Republika sempat berbincang dengan salah satu sikerei atau dukun yang dihormati di tengah masyarakat Gorottai, yakni Goiran (65 tahun). Ia menuturkan, sejak kecil tubuhnya memang tak bertato. Orang tuanya adalah generasi terakhir yang tubuhnya dihisasi seni tato Mentawai. Goiran muda tak sempat merasakan ritual pemasangan tato.
Saat itu, pemerintah menjalankan operasi untuk 'menghapuskan' kepercayaan lokal yang dijalankan penduduk Mentawai. Tato yang merupakan produk kepercayaan juga ikut dihilangkan. Tak ada lagi generasi muda Mentawai saat itu yang diperbolehkan tubuhnya ditato.
"Saya lupa kapan. Pokoknya sudah lama. Tato tak boleh. Kalau melanggar, akan dibawa ke Sikabaluan (ibu kota kecamatan, 4 jam perjalanan)," ujar Goiran sambil duduk di teras uma, akhir 2017 lalu.
Menurutnya, kebijakan Orde Baru itu lah yang praktis membuat tato Mentawai tak lagi jamak ditemui saat ini. Meski begitu, masih ada beberapa suku yang berhasil mempertahankan seni tato di tubuh mereka.
"Orang tua saya masih bertato. Setelah itu tak ada lagi," kata Goiran lirih.
Menurut penjelasan Ahamd Yunus dalam bukunya 'Meraba Indonesia' terbitan 2011 lalu, pemerintah orde lama memang sempat menerbitkan SK No.167/PROMOSI/1954. Implementasi aturan tersebut, diadakanlah Rapat Tiga Agama pada tahun 1954 di Mentawai. Hasil dari pertemuan tersebut meminta masyarakat Mentawai meninggalkan kepercayaan Arat Sabulungan, dan harus memilih satu agama yang diakui pemerintah.
Namun berdasarkan penuturan warga setempat, periode Orde Baru merupakan puncak dari aturan tentang kepercayaan. Bahkan masyarakat yang tetap memaksa bertato ditangkap dan diganjar hukuman.