REPUBLIKA.CO.ID, BENGKULU -- Para nelayan tradisional di Kelurahan Malabero, Pondok Besi, Kandang, dan Teluk Sepang, Kota Bengkulu akan merazia kapal yang menggunakan alat tangkap trawl yang masih beroperasi di perairan Bengkulu. "Nelayan sudah sepakat untuk merazia bila kapal trawl masih beroperasi, karena trawl sudah dilarang beroperasi sejak 1 Januari 2018," kata Ujang Joker, nelayan tradisonal dari Kelurahan Malabero, Kota Bengkulu, Jumat (19/1).
Ia mengatakan keputusan itu diambil dari hasil rapat nelayan tradisional yang digelar pada Kamis (18/1) malam di Masjid Al Istiqomah Kelurahan Malabero. Para nelayan kata Ujang sudah cukup bersabar menyaksikan kapal trawl menghancurkan ekosistem perairan Bengkulu.
Larangan operasi kapal pengguna alat tangkap pukat hela atau trawl sudah diterbitkan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti pada 2015. "Perlu diingat bahwa trawl dan cantrang berbeda jauh. Yang diperpanjang penggunaannya adalah cantrang, sedangkan trawl terlarang," ucapnya.
Sistem operasi pukat harimau
Di wilayah pesisir Bengkulu tidak ada nelayan yang menggunakan cantrang. Sebagian besar nelayan di pesisir ini menggunakan alat tangkap jaring putih dan jaring payang.
"Kami bukan tidak mau menggunakan trawl, tapi masalahnya laut ini bukan untuk dimanfaatkan saat ini saja. Apa yang akan kami tinggalkan bagi anak cucu," ujar Irson, nelayan lainnya.
Terkait tindakan aparat untuk menertibkan trawl, menurut Irson sangat layak dipertanyakan sebab dari pantauan nelayan, kapal-kapal trawl justru bebas beroperasi dengan satu pintu masuk dan keluar di Pelabuhan Pulau Baai. Kondisi ini membuat para nelayan tradisional sepakat untuk merazia kapal trawl yang beroperasi di laut dengan menyita kapal dan alat tangkap lalu menyerahkan anak buah kapal ke polisi.