REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menyebutkan, ia tak mempertanyakan netralitas TNI/Polri terkait penunjukkan sebagai Penjabat Sementara (Pj) Gubernur. Ia ragu apakah orang-orang dari instansi tersebut saat ini sangat diperlukan.
"Kalau saya bukan mempertanyakan netralitas mereka. Tapi, saya justru mempertanyakan motif pelibatan mereka. Benarkah sangat dibutuhkan?" ujar Khairul kepada Republika.co.id melalui pesan singkat, Selasa (30/1).
Ia pun mempertanyakan hal tersebut lebih lanjut. Khairul tak paham mengapa TNI/Polri perlu dilibatkan saat ini. ia juga tak paham, apakah tak ada aparatur sipil negara (ASN) yang cukup kompeten untuk mengemban jabatan tersebut.
"Mestinya, jika memang dirasa perlu dengan memandang kebutuhan dan kemanfaatan, pemerintah menyiapkan dulu payung aturannya yang tegas dan jelas," tutur dia.
Payung aturan tersebut, kata dia, harus dibuat dengan batasan yang ketat soal pelibatan TNI/Polri. Soal apa saja hak, kewajiban, kewenangan, dan mekanisme pemilihannya, dan lain sebagainya.
Menurut Khairul, dengan menggunakan ketentuan-ketentuan terkait ASN saja tak cukup. Itu karena kedudukan Penjabat Kepala Daerah bukanlah sekadar jabatan pimpinan tinggi biasa seperti eselon satu atau dua.
"Kedudukan mereka bisa dibilang setara dengan kepala daerah definitif dan tentu saja, peran-peran politik tak terhindarkan," jelas Khairul.
Sebelumnya Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengusulkan dua Jenderal Polisi untuk menjabat sebagai Pj Gubernur. Pertama, Irjen M. Iriawan yang saat ini menjabat sebagai Asisten Kapolri Bidang Operasi sebagai Pj Gubernur Jawa Barat.
Kemudian yang berikutnya Kadiv Propam Polri Irjen Martuani Sormin menjadi Pj Gubernur Sumatra Utara. Keduanya akan mengisi posisi gubernur setelah masa jabatan Ahmad Heryawan dan Tengku Erry selesai.