Jumat 02 Feb 2018 12:44 WIB

Tambal Sulam Hukum Zina

Red: Elba Damhuri
Pelaksanaan hukuman cambuk (ilustrasi).
Foto: Antara/Irwansyah Putra/ca
Pelaksanaan hukuman cambuk (ilustrasi).

Naskah akademis itu tak memerinci agama mana yang dimaksud. Namun, semisal Islam sebagai agama yang dianut mayoritas warga Indonesia termasuk dalam agama yang dimaksud itu, soal pembuktian dan berbahayanya tudingan palsu tak masuk dalam pertimbangan.

Tak ada pengkhususan formil terhadap hukum tambahan materiil tersebut dalam naskah draf RUU RKUHP terkini.  Artinya, ada potensi pidana zina maupun pencabulan sesama jenis yang disebut berdasarkan norma agama tersebut tetap akan menggunakan sistem pembuktian dari Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang saat ini berlaku.

Dalam KUHAP yang saat ini berlaku, syarat hakim menjatuhkan vonis bersalah, merujuk Pasal 183 adalah keberadaan dua alat bukti serta keyakinan hakim. Di antara alat-alat bukti tersebut, merujuk Pasal 184 adalah keterangan saksi (tak disebut jumlahnya), keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Artinya, keterangan saksi (dengan prinsip “unus testis nullus testis” alias kesaksian tak bisa dari satu saksi) dilengkapi satu alat bukti tersebut sudah cukup jadi dasar menjatuhkan hukuman.

Ada rencana revisi KUHAP yang juga meliputi alat bukti tersebut. Dalam rancangan yang terbit 2013 silam, alat-alat bukti terdiri dari barang bukti, surat-surat, bukti elektronik, keterangan seorang ahli, keterangan seorang saksi, keterangan terdakwa, dan pengamatan hakim. Catat bahwa dalam rancangan revisi tersebut tertulis bahwa saksi bisa seorang saja.

Artinya, ada kemungkinan muculnya parsialitas dalam perluasan hukum zina dalam RUU RKUHP. Hukum yang dijatuhkan diterapkan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan agama, namun proses pembuktian serta acara pidananya menggunakan sistem sekuler.

Ini menimbulkan persoalan tersendiri di Aceh, misalnya. Sebab itu, Prof Al Yasa mengharapkan, aturan soal zina dan liwat dalam revisi KUHP nantinya memenuhi keseimbangan hukuman dan perlindungan nama baik. Jika itu yang terjadi, Aceh bisa ikut menerapkan. Sementara jika tidak, maka Aceh bisa jadi menggunakan keistimewaannya terkait jinayat.

Pakar pidana Islam dari Universitas Indonesia, Prof Topo Santoso juga mengharapkan keseimbangan serupa. “ Kalau saya pribadi, terkait pidana itu harus komprehensif antara pidana materiil dan formilnya,” kata dia saat dihubungi Republika.

Ia menekankan, hukuman zina dalam Islam tergolong berat sehingga pembuktiannya juga berat. Namun, ia juga mengingatkan, Indonesia bukan negara Islam. Persoalan hukum zina yang nantinya berpotensi parsial, menurutnya itu ranah para ulama syariat Islam untuk mengkajinya.

“Ulama-ulama bisa berijtihad soal bagaimana menerapkan pidana Islam di alam demokrasi,” kata dia. Ia mencontohkan, alat-alat bukti yang disyariatkan agama bisa dikembangkan sesuai pembuktian modern yang tak tersedia di masa lampau seperti tes DNA atau bukti rekaman.

Perlunya hukum untuk perbuatan zina dan pencabulan sesama jenis sekiranya sukar diragukan urgensinya. Zaman yang sedemikian terbuka seperti saat ini agaknya membutuhkan batasan-batasan kuat guna mencegah dekadensi moral masyarakat.

Bagaimanapun, para perancang hukum, terutama yang beragama Islam juga harus berhati-hati. Jangan sampai mereka melampaui yang tak berani dilakukan Rasulullah SAW. 

Wallahu a‘lam bisshawab, dan Allah lebih tahu yang sebenarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement