Jumat 06 Apr 2018 20:31 WIB

Mendagri Ungkap Tawaran Ketua DPR untuk Merevisi UU Pilkada

Pilkada Serentak berimplikasi terhadap banyak calon kepala daerah tersangkut hukum.

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Andri Saubani
Mendagri Tjahjo Kumolo memberikan keterangan terkait dengan OTT KPK kepada Bupati Ngada,NTT, di Istana Negara, Senin (12/2).
Foto: Republika/Debbie Sutrisno
Mendagri Tjahjo Kumolo memberikan keterangan terkait dengan OTT KPK kepada Bupati Ngada,NTT, di Istana Negara, Senin (12/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengungkap pertemuan dengan Ketua DPR Bambang Soesatyo dan pimpinan DPR lainnya seperti Fahri Hamzah dan Utut Adianto di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (6/4) hari ini salah satunya membahas implikasi pelaksanaan Pilkada Serentak. Menurut Tjahjo, hampir ketiga kalinya pelaksanaan Pilkada Serentak yang dimulai sejak 2015, membutuhkan biaya yang tinggi bagi para calon.

Sehingga, hal ini juga menyebabkan tidak sedikit para calon kepala daerah yang tertangkap tangan oleh aparat hukum. "Saya kira ini tahun depan pilkadanya sudah selesai serentak, tadi Pak Ketua menawarkan bagaimana kita revisi ulang UU Pilkada," kata Tjahjo.

Menurutnya, pelaksanaan pilkada yang semangatnya memberikan ruang demokrasi yang luas bagi masyarakat untuk memilih pemimpin secara langsung justru menimbulkan sejumlah permasalahan. Salah satunya banyaknya para calon yang tertangkap tangan karena kedapatan korupsi untuk modal maju sebagai calon kepala daerah dalam beberapa waktu terakhir.

Bersamaan itu juga, kata Tjahjo, berkembang usulan pergantian calon kepala daerah yang telah menjadi tersangka. "Dalam perkembangan yang ada kan banyak masukan itu. Tapi UU mengatakan walaupun tersangka tapi belum mempunyai kekuatan hukum tetap di pengadilan yang kedua dia tidak meninggal ya, dia masih terus berproses," kata Tjahjo.

Namun demikian, Tjahjo mengatakan pihaknya belum sampai pada evaluasi sistem pilkada kembali dipilih melalui DPRD. Sebab, evaluasi ini masih harus dibicarakan lebih lanjut antara DPR, Presiden, Penyelanggara Pemilu seperti KPU, Bawaslu dan berbagai pihak terkait lainnya.

"Belum sampai ke sana, karna bagi kami sistemnya sudah bagus ya, tapi kan ada oknum yang terlibat dalam sebuah sistem. Apakah karena ada oknum oknum yang berbuat di sebuah sistem harus dibongkar sistem, harus diganti, kan belum tentu juga," kata dia.

Selain itu, Tjahjo juga mengungkapkan dalam pertemuan itu pihaknya melaporkan persoalan KTP elektronik yang juga menjadi masalah di pilkada maupun pemilu mendatang. Sebab, dalam ketentuan pilkada, KTP-el menjadi syarat mutlak bagi para pemilih untuk menggunakan hak suaranya.

"Masalah KTP-el, di mana UU menyebutkan bahwa untuk pileg dan pilpres tahun depan ini syaratnya menggunakan KTP-el. Tapi ada satu daerah yang masyaraknya nggak mau punya KTP-el, tidak mau seperti di Papua," kata Tjahjo.

Ketua DPR Bambang Soesatyo meminta seluruh pihak mengevaluasi kembali pelaksanaan pilkada apakah lebih memberi manfaat kepada masyarakat atau tidak.  "Kalau memang pilkada langung menberikan manfaat banyak kepada masyarakat akan kita teruskan, tapi kalau sebaliknya mungkin kita evaluasi kembali. Yang pasti kita tidak ingin anak bangsa kita terpecah pecah lalu kemudian terkotak kotak bahkan korupsi jauh makin banyak karena biaya tinggi," kata Bambang.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement