Rabu 23 May 2018 14:57 WIB

Kisah Mata-Mata Korea Utara Rindu Pulang ke Kampung Halaman

Mantan mata-mata Korut yang ditahan di Korsel sebagian tidak bisa pulang.

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Nur Aini
Bendera Korea Selatan dan Korea Utara. Ilustrasi
Foto: gallerychip.com
Bendera Korea Selatan dan Korea Utara. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, GWANGJU --- Seo Ok-yeol telah menghabiskan hidupnya selama hampir enam dekade terperangkap di negara musuh, Korea Selatan (Korsel). Mata-mata Korea Utara (Korut) tersebut sebelumnya sempat menjalani hukuman penjara selama 29 tahun.

Ia sering mendapatkan siksaan dari polisi Korsel, sebelum akhirnya dibebaskan dalam keadaan miskin dan dalam pengawasan polisi. Saat ini, pria berusia 89 tahun yang lebih banyak terbaring di tempat tidur karena sakit itu mengaku sangat merindukan rumahnya di Korut.

"Orang-orang harus mati di tempat mereka dihormati," kata Seo, yang mengaku khawatir ia tidak akan bisa bersatu kembali dengan istri dan anak-anak yang telah ditinggalkannya.

Seo lahir di sebuah pulau kecil di lepas pantai barat daya Semenanjung Korea, yang saat itu masih dikuasai Jepang. Selama Perang Korea 1950-1953 ia menjadi sukarelawan untuk Tentara Rakyat Korea Utara. Setelah perang berakhir, ia menetap di Korut, dan akhirnya menjadi mata-mata.

Dia ditangkap pada 1961, setelah berenang menyeberangi sungai ke Korsel. Menurutnya, hal itu ia lakukan sebagai bagian dari misi untuk mempromosikan unifikasi Korea.

Seperti banyak mata-mata lainnya, Seo tidak sempat mengucapkan selamat tinggal kepada istri dan dua bayi laki-lakinya karena misinya mengharuskannya untuk menjaga kerahasiaan dengan ketat. Seo, yang istrinya berusia 87 tahun jika masih hidup, tidak pernah menikah lagi.

Seo adalah salah satu dari 19 mata-mata Korut yang telah menghabiskan waktunya mendekam di penjara Korsel. Meskipun mereka secara resmi telah bebas sekarang, Seoul menolak untuk membiarkan mereka kembali ke Pyongyang, mengingat masih banyak warga Korsel yang ditahan di Korut.

The Associated Press telah berbicara dengan tujuh mantan mata-mata Korut di Korsel yang semuanya pria berusia 80-an dan 90-an. Mereka bersikeras bahwa Korut adalah "tanah ideologi" mereka.

Mereka mengaku optimistis mendengar berita tentang pertemuan antara pemimpin Korut Kim Jong-un dan Presiden Korsel Moon Jae-in bulan lalu. Kedua pemimpin itu telah berjanji untuk menyelesaikan semua masalah kemanusiaan yang disebabkan oleh perpecahan kedua Korea sejak 70 tahun lalu.

"Saya menangis bahagia. Saya memiliki secercah harapan bahwa masalah kami dapat diselesaikan," kata Yang Hee-chul, seorang mantan mata-mata Korut yang kini berusia 82 tahun.

Pada 2000, saat pemimpin Korut dan Korsel bertemu, Seoul memutuskan untuk memulangkan 63 mata-mata Korut. Puluhan warga Korut lainnya yang telah menjalani hukuman di penjara di Korsel kemudian mengajukan permohonan pemulangan, tetapi permohonan itu tidak dikabulkan sampai beberapa tahanan meninggal dunia.

Dalam tanggapan tertulis kepada The Associated Press, Kementerian Unifikasi Korsel mengatakan saat ini tidak sedang mempertimbangkan untuk memulangkan kembali mata-mata Korut. Namun, Korut belum lama ini meminta Korsel untuk melakukannya.

Sebagian besar mata-mata Korut menghabiskan waktu puluhan tahun di penjara Korsel. Saat berada di tahanan, mereka mengaku disiksa untuk membuat mereka meninggalkan keyakinan komunis.

Kim Young-sik, yang bekerja sebagai operator radio di sebuah kapal mata-mata Korut, yang ditangkap pada 1962, mengatakan dia mengalami siksaan hingga 1973. Dia mengatakan seorang narapidana mengikatnya di sebuah papan, menaruh handuk tipis di wajahnya dan menuangkan air dari ketel ke wajahnya.

"Saya merasa seperti sedang sekarat. Saya masih sangat marah. Bagaimana mungkin mereka menyiksa saya untuk memaksa saya melepaskan sebuah ideologi yang saya percaya benar?" kata pria berusia 85 tahun itu.

Namun tidak semuanya bernasib buruk. Sebanyak 63 tahanan yang dipulangkan pada 2000 dipilih oleh Seoul karena mereka tidak pernah mengingkari komunisme selama mereka di penjara. Mereka menerima sambutan bak pahlawan di Pyongyang oleh ratusan ribu orang.

sumber : AP
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement