REPUBLIKA.CO.ID, PURWOKERTO -- Anggota Komisi D DPRD Banyumas, Yoga Sugama, mengakui kondisi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) SMP di Banyumas tahun ini banyak diwarnai protes dan kekecewaan orang tua calon siswa.
"Sebagai anggota dewan yang membawahi bidang pendidikan, saya menerima paling tidak ada 40 pengaduan yang disampaikan orang tua calon siswa. Semuanya mengeluhkan soal penerapan sistem zonasi yang mencapai 90 persen," katanya.
Yoga mengaku tidak bisa menyalahkan Dinas Pendidikan, karena Juknis PPDB yang dikeluarkan kepala dinas, sudah sejalan dengan Peraturan Mendikbud Nomor 14 tahun 2018.
Dia mengakui, sistem PPDB yang diterapkan tahun ini memang banyak merugikan masyarakat. Dengan sistem zonasi yang diuntungkan adalah orang tua yang anaknya memiliki zonasi terdekat dengan sekolah negeri meski nilai ujian nasionalnya sangat rendah. Sedangkan yang jauh, sulit untuk bisa diterima meski pun memiliki nilai prestasi yang tinggi.
"Hal ini tidak hanya berlaku di sekolah-sekolah favorit di kota saja. Tapi juga di sekolah-sekolah yang ada di desa," katanya.
Seperti SMP Negeri Patikraja yang berada di luar kota, pada PPBD 2018 ini menerima pendaftaran lebih dari 300 siswa. Sementara kuota sekolah yang diterima melalui sistem zonasi, hanya sebanyak 170 siswa. "Sebanyak 170 siswa itu, otomatis hanya menerima siswa di radius 3 kilometer dari lokasi sekolah. Sedangkan sisanya terpaksa tersingkir," jelasnya.
Menurutnya, mereka yang tersingkir adalah anak-anak yang rumahnya di pelosok pedesaan dan jauh dari lokasi sekolah. "Anak-anak yang tinggal di pelosok dan mungkin saja secara ekonomi tidak mampu, apakah harus sekolah di sekolah swasta yang biaya pendidikannya relatif lebih mahal?" katanya.
Terkait kondisi ini, dia menyebutkan, para orang tua siswa yang anaknya yang saat ini tidak mendapat sekolah di SMP Negeri, bisa mengajukan gugatan class action atau PTUN terkait ketentuan yang dikeluarkan Mendikbud.
Menurutnya, peraturan Mendukbud tersebut justru tidak mencerminkan prinsip-prinisp keadilan pendidikan seperti yang tertuang dalam UU Sistem Pendidikan Nasional. "Mungkin aturan itu awalnya dibuat agar tidak ada lagi sekolah favorit. Namun kuota 90 persen diterima berdasarkan zona terdekat, memiliki banyak implikasi negatif," katanya.
Antara lain, kata Yoga, anak-anak di pelosok pedesaan akan banyak yang tidak tertampung di sekolah negeri karena kebanyak sekolah berada di wilayah jauh dari pelosok. Demikian juga, anak-anak berprestasi yang sudah belajar sungguh-sungguh agar bisa mendapat nilai ujian nasional, akan tersingkir dan tidak bisa sekolah di sekolah negeri.
Lebih jauh Yoga menyebutkan, hal ini akan mematikan semangat anak-anak untuk belajar sungguh-sungguh untuk mendapatkan prestasi terbaik. "Apakah begini yang diinginkan pemerintah dalam sistem pendidikan kita?," katanya.