Selasa 15 Jan 2019 11:17 WIB

Tukang Sampah Ini Beranikan Diri Ikut Pileg

Dwi sendiri telah menasbihkan hidupnya sebagai tukang sampah selama 23 tahun.

Rep: Wilda Fizriyani / Red: Agus Yulianto
Calon legislatif (Caleg) PKS Kota Malang 3, Dwi Hariyadi bekerja sebagai tukang sampah.
Foto: Dok Pribadi
Calon legislatif (Caleg) PKS Kota Malang 3, Dwi Hariyadi bekerja sebagai tukang sampah.

REPUBLIKA.CO.ID, Miris, itulah pandangan Dwi Hariyadi terhadap lembaga legislatif, terutama di Kota Malang. Apalagi, seluruh wakil rakyat tersebut telah 'diborong' Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akibat ulahnya, beberapa waktu lalu.

Meski tidak sesuai harapan, keberadaan DPRD Kota Malang masih dianggap penting bagi rakyat kecil sepertinya. Tak ada keinginan lain, selain melibatkan diri ke dunia tersebut. Hal ini terutama berupaya membawa aspirasi rekan-rekan seprofesinya sebagai tukang sampah.

Menurut Dwi, Kota Malang sampai sekarang belum juga memberikan biaya insentif kepada golongannya. Berbeda jauh dengan guru ngaji maupun orang-orang yang berada di bawah naungan Linmas Satpol PP. Kerja keras yang dilakukan para tukang sampah nyatanya belum mendapatkan apresiasi dari pemerintah.

photo
Calon legislatif (Caleg) PKS Kota Malang 3, Dwi Hariyadi bekerja sebagai tukang sampah.

Dwi sendiri telah menasbihkan hidupnya sebagai tukang sampah selama 23 tahun. Lebih tepatnya ketika dirinya duduk di bangku kuliah semester tiga, jurusan pendidikan bahasa Inggris, IKIP Budi Utomo, Malang. Karena terbatas biaya, tanpa malu ia mencoba mengais rezeki tambahan di pekerjaan ini.

Profesi ini jelas bukan satu-satunya yang digeluti untuk menghidupi tiga anak dan satu isterinya. Ia juga menjadi guru honorer bahasa Inggris di SDN Saptorenggo 03, Pakis, Malang. Pria kelahiran Probolinggo ini juga menjadi Danton Linmas Kelurahan Madyopuro. 

"Dan juga bantu-bantu urus surat di kelurahan," kata pria berdarah Madura ini saat ditemui Republika.co.id, di Cafe Coklat Klasik, Kota Malang, baru-baru ini.

Di antara profesi-profesi tersebut, pendapatan terakhir justru berasal dari sampah. Gaji utama mencapai Rp 600 ribu per bulan dengan beberapa tambahan yang diberikan oleh orang-orang ditemuinya. Sementara gaji sebagai guru hanya sekitar Rp 200 ribu dengan jadwal temu tiga kali sepekan.

Meski berhubungan dengan aroma sampah, Dwi nyatanya masih tetap setia dengan profesi ini. Di antara profesi lainnya, pengangkut sampah yang paling mendekati mencukupi kebutuhan hidupnya. Ia terus berusaha membantu membersihkan sampah-sampah di Kota Malang walau anak-anaknya terkadang acap malu dengan profesinya.

Di kehidupan sehari-hari, Dwi biasanya memiliki jadwal tersendiri dalam menjalankan profesinya sebagai tukang sampah. Ia biasanya akan mulai mengangkut sampah di sejumlah lokasi pukul 05.00 sampai 09.00 WIB. Kemudian dilanjutkan sebagai pengajar hingga tengah hari. 

"Setelah itu urus-urus surat dan bantu-bantu linmas," kata pria kelahiran 1973 ini.

Lalu bagaimana Dwi dapat terlibat di dunia Pemilihan Legislatif (Pileg) Kota Malang? Dwi mengaku, semua ini karena mendapatkan tawaran dari salah satu teman dekatnya. Mendapatkan tawaran tersebut, Dwi tentu saja kaget dan tidak menyangka.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement