Rabu 08 May 2019 11:57 WIB

People Power Dinilai Bisa Kena Pasal Ujaran Kebencian

Polri akan menindak tegas pelaku mobilisasi massa people power.

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Teguh Firmansyah
Sekjen PPP Arsul Sani berbicara pada wartawan di Posko Cemara, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (4/9).
Foto: Republika/Bayu Adji P
Sekjen PPP Arsul Sani berbicara pada wartawan di Posko Cemara, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (4/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian telah menyebut aksi pengerahan massa people power bisa dipidana bila mengandung unsur makar.  Namun anggota Komisi III (Hukum, HAM dan Keamanan) DPR RI menilai, bukan hanya unsur makar, people power juga bisa ujaran kebencian.

"Dari sisi pidana lain tetap mungkin dikenakan misalnya kalau dalam people power itu katakanlah tidak ada upaya penggulingan pemerintah, tapi ada ujaran kebencian, kan bisa dikenakan juga penyebaran kebencian dan penghinaan," kata anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani di Kompleks DPR RI, Jakarta, Rabu (8/5).

Baca Juga

Dengan demikian, jelas Arsul, pemidanaan aksi people power bergantung pada sejumlah unsur, tidak hanya terbatas pada tindakan anarkis maupun makar. Tindak pidana dalam people power harus dilihat dan dipahami secara rinci, tindakan apa saja yang dapat dianggap melanggar hukum pidana.

"Tapi yang perlu dipahami Kalau ada people power, itu ada potensi sebuah tindak pidana, apa itu makar, penghinaan pencemaran nama baik," kata Politikus PPP itu.

Sebelumnya, Tito Karnavian menegaskan akan menidak tegas pelaku mobilisasi massa people power yang mengancam pemerintahan. Tito menjelaskan, unjuk rasa, misalnya dalam hal memprotes hasil pemilu dapat dilakukan sebagai bentuk penyampaian pendapat.

Unjuk rasa itu diatur dalam UU nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum. Mekanisme unjuk rasa Juga diatur dalam Peraturan Kapolri (Perkap) nomor 7 tahun 2012.

"Kalau tidak menggunakan mekanisme ini, apalagi kalau ada bahasa akan menjatuhkan pemerintah, itu pasal 107 KUHP jelas. Ini adalah undang-undang yang dibuat oleh rakyat. Itu bahasanya jelas. Yaitu perbuatan untuk menggulingkan pemerintah yang sah, maka ada ancaman pidananya," kata Tito di Gedung Nusantara V, DPD RI, Jakarta (7/5).

Pasal 107 KUHP ayat pertama berbunyi, makar dengan maksud untuk menggulingkan pemerintah, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Kemudian, pasal ayat kedua pasal tersebut menyatakan, pemimpin dan pengatur makar tersebut diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.

Tito menegaskan, kepolisian tidak akan segan menerapkan pasal tersebut bila unjuk rasa memprotes hasil pemilu justru mengarah pada upaya penggulingan pemerintahan yang sah. "Kalau ternyata memprovokasi, atau menghasut untuk melakukan upaya pidana, misalnya makar, itu pidana," kata Jenderal Bintang Empat itu.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement