REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para ahli hukum tata negara mengkhawatirkan wacana amendemen terbatas UUD 1945 yang bisa berdampak kepada potensi terganggunya kontestasi dalam Pemilu 2024. Menurut mereka, ada potensi amandemen membuka jalan bagi pelaksanaan pilpres tidak langsung.
Ketua Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (KoDe Inisiatif) Veri Junaidi menyayangkan jika gagasan amendemen UUD 1942 yang berlanjut kepada amandemen Garis-Garis Besar Halauan Negara (GBHN) berakhir kepada proses pemilu tidak langsung. Gelagat ini tampak dari isu yang mengiringi dalam wacana amendemen UUD 1945, yakni mengembalikan fungsi MPR untuk memilih presiden.
"Soal wacana pemilihan presiden secara tidak langsung dalam agenda terselubung amandemen konstitusi. Saya menganggap ada kekhawatiran mungkin sebagaian parpol kalau kemudian kondisi ini nanti dibiarkan terus-menerus posisinya pemilu secara langsung," ujar Veri kepada wartawan dalam diskusi di Gondangdia, Jakarta Pusat, Rabu (14/8).
Veri menilai, parpol sudah melihat ada ancaman bagi politik dinasti untuk elite politik tertentu. Parpol sadar bahwa pemilu secara langsung memberikan ruang munculnya tokoh-tokoh baru di luar kader atau elite mereka yang ternyata begitu diminati oleh masyarakat.
Kedua, parpol saat ini mulai menyadari fenomena Joko Widodo (Jokowi) yang terlihat 'susah diatur' elite politik. Bahkan, ada ketua parpol yang harus menyampaikan dalam ruang terbuka meminta calon menteri.
"Nah, ini menurut saya kalau misalnya Jokowi bisa diatur, tidak akan mungkin permintaan itu disampaikan diruang publik. Jadi ada keinginan untuk kemudian mengontrol presiden terpilih (lewat MPR dan GBHN)," kata Veri.
Untuk itu, jika amendemen ini jadi direalisasikan maka ada ancaman Pemilu 2024 tidak bisa digelar. Sebab, fungsi MPR memilih presiden sudah dikembalikan.
Veri menyebut kondisi ini melawan kehendak publik tentang pemilihan presiden secara langsung. Padahal, pada 2024 merupakan momen politik yang baik bagi bangsa Indonesia untuk mendapatkan tokoh politik baru yang berkontestasi dalam pilpres.
"Bukan lagi Ibu Megawati, Pak Prabowo, Pak SBY, atau Pak Jokowi. Hari ini banyak tokoh muda yang sangat potensial muncul di pilpres selanjutnya, kalau kemudian harus di tarik kembali proses politik kita menjadi proses tidak langsung menurut saya sangat disayangkan," ujar Veri.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, pun menduga ada misi lain di balik wacana amendemen UUD 1945 ini. Dia melihat parpol merasa perlu mengontrol kepercayaan diri presiden terpilih.
"Karena selama ini presiden dipilih oleh rakyat, maka dia terlalu percaya diri. Parpol merasa perlu mementahkannya sehingga kepercayaan diri presiden harus dinegosiasikan dengan parpol. Maka perlu semangat amandemen UUD 1945 dan GBHN ini perlu ditarik ke belakang apa latar belakangnya," tutur Feri.
Ia melihat ada kecenderungan hampir seluruh parpol bersemangat mendukung amendemen. Sebab, ketika MPR nantinya punya kekuasaan, parpol otomatis kembali berkuasa.
Dampaknya, akan ada perubahan lain yang dilakukan secar perlahan. "Mungkin hari ini GBHN dulu, kemudian besok pemilu presiden (diubah). Ya perlu perlahan-lahan bukan?" tambahnya.
Ahli hukum tata negara, Bvitri Susanti, menilai, potensi parpol ingin pilpres yang tidak langsung bukan merupakan proyeksi yang terlalu jauh. Saat ini, dia melihat parpol tidak suka dengan kecenderungan hasil dari popular vote (pilihan masyarakat).
Ternyata, lanjut dia, hasil popular vote mampu berjalan dengan baik hingga memasuki periode kedua. Karena itu, parpol takut kembali tidak punya kekuasaan yang besar ke depannya.
"Sebab orang seperti Pak Jokowi bisa terpilih, kemudian nanti orang seperti Bu Risma, Ridwan Kamil bisa terpilih juga. Artinya kan oligarki dalam kekuasan parpol tidak bisa jalan lagi. Saya curiga itulah yang mau direbut lagi oleh parpol sehingga nanti MPR bisa pilih presiden lagi, dan sebagainya, " tegas Bvitri.
Sebelumnya, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) merekomendasikan adanya amandemen terbatas UUD 1945 untuk menetapkan kembali Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga tertinggi negara. Dengan demikian, MPR memiliki kewenangan menetapkan GBHN sebagai pedoman penyelenggaraan pemerintahan.
Demi memuluskan rekomendasi tersebut, PDIP saat ini sedang memfokuskan diri agar amendemen UUD 1945 secara terbatas dapat terlaksana. partai berlambang kepala banteng moncong putih itu akan mengusung agenda tersebut dalam pemilihan Ketua MPR periode 2019-2024.