REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON — Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengaku telah membatalkan pembicaraan rahasia dengan Taliban, yang rencananya akan diadakan pada Ahad (8/9). Pembicaraan itu semula direncanakan berada di lokasi bernama Camp David, Maryland, bersama dengan Presiden Afghanistan Ashraf Ghani.
Trump mengatakan ia segera membatalkan rencana pertemuan tersebut, setelah adanya ledakan bom mobil yang terjadi di Ibu Kota Kabul, Afghanistan pada Sabtu (7/9). Dalam kejadian itu, sebanyak 12 orang tewas, termasuk salah satunya adalah seorang tentara AS.
Menurut pria berusia 73 tahun itu, Taliban nampaknya sengaja melakukan serangan untuk apa yang disebutnya ‘membangun daya tarik palsu’. Trump juga mengatakan bahwa jika Taliban tidak dapa menyetujui gencatan senjata selama pembicaraan damai, maka mungkin perundingan dan kesepakatan yang dihasilkan tak akan ada artinya.
“Jika Taliban tidak dapat menyetujui gencatan senjata selama pembicaraan damai yang sangat penting ini dan bahkan akan membunuh 12 orang yang tidak bersalah, maka mungkin tidak memiliki kekuatan untuk merundingkan perjanjian yang berarti. Berapa dekade lagi mereka mau berjuang,” ujar Trump melalui jejaring sosial Twitter, dilansir VOA, Ahad (8/9).
Negosiasi untuk mencapai kesepakatan damai telah berlangsung selama berbulan-bulan antara diplomat AS dan Taliban, yang telah menolak seruan untuk gencatan senjata. Pengumuman yang diberikan Trump mengenai adanya rencana pembicaraan rahasia, sekaligus pembatalannya secara sepihak juga sangat mengejutkan.
“Selama berbulan-bulan, negosiator AS telah bekerja dengan cara yang sungguh-sungguh untuk mendapatkan kesepakatan dan dengan pernyataan Trump, upaya mereka dalam sekejap seperti menarik upaya itu,” ujar Michael Kugelman, wakil direktur program Asia dan rekan senior Asia Selatan di The Wilson Centre.
Kugelman mengatakan bahwa Trump sebenarnya adalah negosiator yang cerdas. Langkah yang dilakukan miliarder itu nampaknya adalah semacam tipuan, yang dimaksud untuk mengintimidasi Taliban, membuat kelompok itu mengurangi aksi kekerasan dan kembali ke meja perundingan dalam posisi yang lebih lemah.
Kesepakatan damai yang disebut dapat terwujudnya penarikan 14.000 tentara AS di Afghanistan, yang diharapkan dapat mengakhiri perang terpanjang dalam sejarah Negeri Paman Sam. Diperkirakan 15 ribu orang, termasuk 40 ribu warga sipil telah tewas di Afghanistan sejak 2001, saat invasi pimpinan AS menggulingkan Taliban dari kekuasaan.
Namun, dalam sepekan terakhir, Taliban meluncurkan serangan terbaru terhadap Kabul dan dua kota lainnya di Afghanistan selama sepekan terakhir. Kelompok ini juga telah mengendalikan lebih banyak wilayah di Afghanistan sejak 2001.