REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, melihat dua polisi yang menjadi pelaku penyiraman terhadap Novel Baswesan salah mengartikan semangat korsa Polri. Fahmi menilai, aksi yang mereka lakukan bukan merupakan bentuk semangat tersebut.
“Tentu saja implementasi yang benar dari jiwa korsa tak seperti itu,” ujar Khairul dalam keterangan tertulisnya, Kamis (02/01).
Menurut Khairul, semangat atau jiwa korsa tidaklah salah. Ia mengatakan, yang salah ialah penerapan yang membabi-buta dari semangat tersebut.
Jiwa korsa, kata dia, ditangkap semata-mata soal keseragaman, kekompakan, dan solidaritas tanpa melihat maupun menelaah kondisi objektif secara kritis. “Masalahnya adalah penerapan yang membabi-buta. Wajar saja, indoktrinasi dan ideologisasi memang tak membutuhkan keberpikiran,” jelas dia.
Dengan demikian, jelas Khairul, mereka tak berpikir panjang untuk melakukan penyerangan tersebut. Kedua pelaku berpikiran untuk main hantam, terlebih saat mereka merasa kehormatan korps atau lembaga mereka telah tercoreng.
“Pembalasan atau penghukuman dianggap layak dan setimpal dilakukan pada siapapun yang telah mempermalukan, menghina apalagi mengkhianati,” katanya.
Ia menjelaskan, jiwa korsa selalu menjadi klaim dan pembenaran ketika suatu peristiwa melibatkan personel-personel satuan tertentu terhadap pihak di luar kesatuannya atau bahkan masyarakat umum. Peristiwa-peristiwa itu, misalnya bentrok antarsatuan, antarinstitusi, maupun kekerasan yang melibatkan personel-personel satuan tertentu.
Menurutnya, jiwa korsa selama ini sering dilekatkan pada praktik-praktik buruk dan negatif. Praktik yang tak jauh dari kekerasan kolektif oleh personel lembaga tertentu.
Padahal, kata dia, doktrin korsa sejatinya ditanamkan untuk membangun kekompakan dan kerja sama tim dalam rangka pencapaian tujuan organisasi. “Tentunya jangankan perbuatan yang jelas tindak pidana seperti peyiraman air keras ini, jiwa korsa mestinya bahkan tak membuat pelanggaran disiplin atas nama solidaritas dan kekompakan dapat ditolerir,” ujarnya.
Khairul melihat, kultur fasisme dan tradisi yang militeristik masih sangat kental di organisasi Polri, terutama Brimob. Meski berstatus sipil, pembentukan personelnya sejak di lembaga pendidikan lekat dengan ketentaraan.
Pembentukan watak dan karakter tentara ia sebut memang dilakukan atas dasar doktrin yang merepresentasikan kebanggaan, kewibawaan, dan kehormatan kolektif institusional. “Itu berarti berbicara simbol-simbol, identitas, dan ideologi. Implementasi yang sering kita lihat dan dengar adalah slogan 'disiplin adalah nafasku, kesetiaan adalah kebanggaanku, kehormatan di atas segala-galanya',” jelas dia.
Ia kemudian menyarankan agar penanaman doktrin soal disiplin, loyalitas, dan kehormatan tersebut perlu dibarengi dengan pengembangan budaya malu. Baik itu malu jika tidak disiplin, malu jika melanggar aturan, maupun malu jika bertindak tidak terhormat.