REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sidang gugatan 49 eks-pegawai KPK kembali digelar pada Senin (1/8/2022) kemarin, di PTUN Jakarta dengan agenda sidang masih mendengarkan saksi dan ahli. Pihak BKN menghadirkan saksi fakta PNS BKN dengan jabatan Asesor SDM Aparatur Madya, Christina Nailiu.
Berdasarkan kesaksian Christina, tim kuasa hukum dan tim penggugat dari eks pegawai KPK yang tergabung dalam IM57+ Institute mencatat beberapa poin penting yang memperkuat dugaan selama ini banyak kejanggalan dalam proses pelaksanaan TWK KPK. Temuan kejanggalan tersebut antara lain pelaksanaan TWK tidak mengikuti standar administratif yang berlaku di antaranya BKN tidak melakukan pengecekan kualifikasi assessor apakah kompetensinya sesuai atau tidak, BKN tidak menggali informasi bagaimana sistem penilaian di masing-masing tahapan assessment, BKN tidak memastikan siapa pihak yang bertanggung jawab melakukan kompilasi penilaian assessment.
"Kemudian, diketahui soal ujian essai dibuat oleh pihak BAIS dengan menggunakan kop BKN sebagai identitas tanpa ada koordinasi bentuk soal atau pertanyaannya. Keterangan saksi BKN mengakui tidak terdapat uji validitas essai tersebut. Apabila validitas tes essai tersebut tidak ada, maka hasil dari tes tersebut tidak bisa dipertanggungjawabkan akuntabilitasnya," kata mantan penyidik KPK, Novel Baswedan, dalam keterangannya, Selasa (2/8/2022).
IM57+ juga mendapati BKN bersurat untuk meminta bantuan TNI AD, BAIS, BIN, dan BNPT untuk terlibat dalam proses TWK dalam bentuk wawancara dan profiling IMB68. Namun ternyata, pihak BKN tidak mengetahui siapa saja pihak individu yang melakukan profiling lapangan dan media sosial terhadap peserta assessment.
"Pihak BKN diketahui tidak melakukan kajian terhadap perangkat assessment milik TNI. Sehingga tidak ada kajian sebelum dipergunakan apakah perangkat sesuai dan tepat apabila dipergunakan untuk masyarakat sipil," ujar Novel.
Novel mengungkapkan, BKN justru menggunakan perangkat assessment IMB68 yang ada dalam kuasa dan kewenangan SK Panglima TNI. Padahal, assesment TWK untuk keperluan alih fungsi status pegawai KPK. Bahkan, pihak BKN baru mengetahui bahwa perangkat IMB68 menggunakan proses scoring.
"BKN tidak mengetahui adanya TAP MPR Nomor IV/MPR/2000 tentang pemisahan TNI dan Polri dimana filosofinya memisahkan TNI dengan Polri terkait unsur-unsur sipil dalam bernegara pascareformasi," kata Novel.
Kejanggalan lain yang terungkap adalah saksi BKN mengakui perannya sebagai observer dan administrasi. Namun saksi justru tidak mengetahui bahkan tidak menyimpan arsip-arsip yang berkaitan dengan pelaksanaan assessment TWK.
"Meski saksi BKN mengakui hadir dalam rapat koordinasi pada tanggal 25 Mei 2021, namun saksi tidak mengetahui apa dasar regulasi yang dipergunaakan untuk menetapkan standar kelulusan peserta TWK KPK dan klasifikasi label merah, kuning, dan hijau," sebut Novel.
Atas dasar itulah, IM57+ memandang keterangan saksi Christina mengkonfirmasi temuan Ombudsman dan Komnas HAM. Di antaranya KPK telah melakukan maladministrasi dalam proses alih status pegawai KPK menjadi ASN, BKN tidak memiliki alat ukur, instrumen, dan asesor untuk melakukan asesmen dalam melaksanakan alih status pegawai KPK menjadi ASN, KPK melakukan penyimpangan prosedur dalam melaksanakan TWK serta penyalahgunaan wewenang.
IM57+ Institute berpandangan kesaksian Christina menambah informasi betapa penyelenggaran alih status pegawai KPK melalui mekanisme TWK IMB68 dipenuhi banyak kejanggalan. Sehingga IM57+ mendukung pokok gugatan Rekomendasi Ombudsman dan Komnas HAM harus dilaksanakan.
"Kami berharap bahwa kesaksian hari ini (1/8/2022) bisa menjadi bahan pertimbangan dan menambah keyakinan para hakim untuk mengabulkan gugatan kami, dengan memberikan keputusan yang seadil-adilnya," kata Novel.