Senin 17 Feb 2020 07:14 WIB

Survei: Mayoritas Publik Sepakat GBHN, Tapi Tolak Amendemen

Masyarakat berpendapat Indonesia memerlukan GBHN sebagai arah pembangunan.

Rep: Rizkyan Adiyudha/ Red: Ratna Puspita
Politisi PDI Perjuangan Rokhmin Dahuri (kiri) memberi paparan didampingi, politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Lidya Hanifa (tengah) dan politisi Partai Amanat Nasional (PAN) Bima Arya Sugiarto (kanan) dalam rilis survei kinerja evaluasi 100 hari pemerintahan Jokowi-Amin di Jakarta, Ahad (16/02/2020).
Foto: Antara/Reno Esnir
Politisi PDI Perjuangan Rokhmin Dahuri (kiri) memberi paparan didampingi, politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Lidya Hanifa (tengah) dan politisi Partai Amanat Nasional (PAN) Bima Arya Sugiarto (kanan) dalam rilis survei kinerja evaluasi 100 hari pemerintahan Jokowi-Amin di Jakarta, Ahad (16/02/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hasil survei yang dilakukan Indobarometer mendapati mayoritas mayoritas publik sepakat bahwa Indonesia memerlukan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) untuk pembangunan. Kendati demikian, masyarakat Indonesia berpandangan bahwa amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 masih belum perlu dilakukan.

Sebanyak 55,1 persen masyarakat berpendapat bahwa Indonesia memerlukan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) untuk pembangunan. Dari jumlah tersebut, sebesar 32,8 persen berpendapat bahwa pembangunan harus berlandaskan GBHN dan UUD 1945.

Baca Juga

Di sisi lain, mereka berpendapat bahwa UUD 1945 merupakan ketetapan yang sudah berada sejak dahulu. "Mereka juga berpendapat kalau amandemen ditakutkan menimbulkan instabilitas negara kalau dilakulan," kata Direktur Indobarometer M Qodari di Jakarta, Ahad (16/2).

Hasil survei Indobarometer mendapati 62 persen masyarakat Indonesia menilai belum perlu dilakukan amandemen terhadap UUD 1945. Sedangkan 27,3 persen responden mengaku bahwa UUD 1945 memang perlu dilalukan perubahan. Sedangkan 10,6 persen menyatakan tidak tahu.

Mengacu pada riset itu, sebesar 47,5 persen masyarakat berpandangan bahwa keberadaan UUD yang sejak dulu itu membuat konstitusi dasar negara tidak perlu dilakukan amandemen apapun. Sementara, sebanyak 23,2 persen responden khawatir jika dilakukan perubahan maka berpotensi mengganggu stabilitas negara. 

Sebanyak 12,8 persen responden juga berpandangan bahwa UUD 1945 bukan dilakukan perubahan tapi diperbaiki. Sebesar 5,1 persen warga juga berpendapat bahwa amandenen berbahaya bagi keutuhan negara.

Masyarakat juga berpendapat bahwa amandemen dilakukan hanya untuk kepentingan politik tertentu, menignkatnya korupsi serta mengurangi nilai hak berdemokrasi. Sisanya 4,3 persen responden tidak menjawab.

Terkait GBHN, sebanyak 22,8 persen juga berpandangan bahwa pembangunan nasional membutuhkan aturan pasti. Sementara 20 persen menilai GBHN adalah arah dari pembangunan nasional tersebut.

Survei juga mendapati bahwa 9,8 persen publik mengatakan, negara tidak memerlukan GBHN untuk pembangunan. Dari angka tersebut, sebesar 38,1 persen masyarakat mengatakan bahwa pembangunan nasional tetap akan berjalan tanpa GBHN. 

Sedangkan 25,4 persen berpendapat bahwa GBHN diadakan hanya demi kepentingan politik tertentu. Sementara 11,9 persen warga ingin agar pembangunan dilandasarkan pada kebijakan publik dan GBHN membatas ruang gerak pembangunan.

Survei dilakukan pada 9 hingga 15 Januari 2020. Responden diambil dari 34 provinsi secara nasional. Jumlah responden sebanyak 1200 orang dengnan margin of eror 2,83 perseb pada tingkat kepercayaan 95 persen.

Metode penarikan sampel menggunakan multistage random sampling. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara tatap muka dengan responden menggunakan kuisoner. Pertanyaan diajukan secara terbuka.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement