Kamis 20 Feb 2020 09:43 WIB

RUU Ketahanan Keluarga Atur Kewajiban Suami dan Istri

Rancangan mengamanatkan setiap suami istri memiliki kedudukan dan hak seimbang.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Ratna Puspita
Ilustrasi keluarga. Draf Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Ketahanan Keluarga mengatur soal kewajiban suami dan istri.
Foto: Republika/Yogi Ardhi
Ilustrasi keluarga. Draf Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Ketahanan Keluarga mengatur soal kewajiban suami dan istri.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Draf Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Ketahanan Keluarga mengatur soal kewajiban suami dan istri. Rancangan beleid ini menginginkan setiap suami istri yang terikat perkawinan sah melaksanakan kewajiban masing-masing sesuai norma agama, etika sosial, dan ketentuan perundang-undangan. 

Ketentuan mengenai suami istri tertuang dalam Pasal 24 hingga Pasal 29. Pasal 24 ayat (1) berbunyi, "dalam penyelenggaraan ketahanan keluarga, setiap suami istri yang terikat perkawinan sah memiliki kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga dan membina harmonisasi keluarga." Kemudian Pasal 24 ayat (2) tertulis, "setiap suami istri yang terikat dalam perkawinan yang sah wajib saling mencintai, menghormati, menjaga kehormatan, setia, serta memberi bantuan lahir dan batin yang satu kepada yang lain."

Baca Juga

Dilanjutkan dengan Pasal 24 ayat (3) menyebutkan, "setiap suami istri yang terikat dalam perkawinan yang sah memiliki kedudukan dan hak seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat sesuai norma agama, etika sosial, dan peraturan perundang-undangan."

Sementara itu, kewajiban suami istri diatur secara terperinci dengan beberapa poin. Pada Pasal 25 ayat (2) menyebutkan empat kewajiban suami, diantaranya (a) sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan dan kesejahteraan keluarga, memberikan keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya, dan bertanggung jawab atas legalitas kependudukan keluarga.

Kemudian (b) melindungi keluarga dari diskriminasi, kekejaman, kejahatan, penganiayaan, eksploitasi, penyimpangan seksual, dan penelantaran; (c) melindungi dan keluarga dari perjudian, pornografi, pergaulan dan seks bebas, serta penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; serta (d) melakukan musyawarah dengan seluruh anggota keluarga dalam menangani permasalahan keluarga.

Sementara kewajiban istri tertuang dalam Pasal 25 ayat (3) yaitu (a) mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya, (b) menjaga keutuhan keluarga, serta (c) memperlakukan suami dan anak secara baik, serta memenuhi hak-hak suami dan anak sesuai norma agama, etika sosial, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

photo
Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Univ Andalas Feri Amsari (Republika/Prayogi)

Di sisi lain, Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari menilai, norma agama dan etika sosial yang ada di ruang privat tak perlu diatur negara dalam RUU Ketahanan Keluarga. Ia menganggap setiap perbedaan atau permasalahan dalam keluarga dapat diselesaikan secara kekeluargaan pula.

"Ruang itu jadi aneh kalau negara masuk . Negara bisa masuk dalam ruang yang merugikan publik, kalau privat masuk itu kesalahan fatal dan tentu melanggar HAM," ujar Feri kepada wartawan, Rabu (19/2).

Ia khawatir apabila kewajiban istri mengatur rumah tangga sebaik-baiknya diatur undang-undang, membuat istri tak dapat bekerja di luar rumah. Padahal suami istri dapat menentukan sendiri apakah si istri boleh bekerja atau cukup suami saja yang mencari nafkah.

"Itu kan relasi antara suami dengan istri, ada suami kerja istri di rumah jaga keluarga, ada juga suami di rumah istri yang kerja, ada yang sepakat keduanya bekerja. Nah hal itu tidak perlu masuk ruang negara," kata dia.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement