Rabu 13 May 2020 16:31 WIB

Pertamina Harus Siap Hadapi New Normal Usai Pandemi

Pertamina melakukan berbagai mitigasi risiko dampak pandemi

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Nidia Zuraya
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati (kanan) bersama Direktur Pengolahan Budi Santoso Syarif (tengah), dan Direktur Perencanaan Investasi dan Manajemen Risiko Pertamina Heru Setiawan (kiri) memberikan keterangan pers seusai kontrak pelaksanaan rancangan kontruksi atau Engineering, Procurement, and Contruction (EPC) ruang lingkup Kilang Balikpapan yang meliputi Inside Battery Limit (IBL) maupun Outside Battery Limit (OBL), di Kantor Pusat Pertamina, Jakarta, Senin (10/12/2018).
Foto: Antara/Aprillio Akbar
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati (kanan) bersama Direktur Pengolahan Budi Santoso Syarif (tengah), dan Direktur Perencanaan Investasi dan Manajemen Risiko Pertamina Heru Setiawan (kiri) memberikan keterangan pers seusai kontrak pelaksanaan rancangan kontruksi atau Engineering, Procurement, and Contruction (EPC) ruang lingkup Kilang Balikpapan yang meliputi Inside Battery Limit (IBL) maupun Outside Battery Limit (OBL), di Kantor Pusat Pertamina, Jakarta, Senin (10/12/2018).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ditengah dampak pandemi dan merosotnya harga minyak dunia membuat PT Pertamina (Persero) perlu melakukan berbagai mitigasi risiko dan bersiap menghadapi perubahan ekonomi. Direktur Perencanaan Investasi dan Manajemen Risiko Pertamina Heru Setiawan menilai pandemi Covid-19 saat ini sudah menjadi disruption, baik bagi entitas bisnis seperti Pertamina maupun secara global.

Oleh karena itu, Heru mengajak semua jajaran manajemen Pertamina Group untuk merespon disruption ini dengan baik melalui rencana kerja yang komprehensif mengikuti dinamika bisnis saat ini. 

Baca Juga

Bahkan Heru mengungkapkan, ada beberapa ahli memprediksi, kondisi dunia dalam berbagai aspek tidak mungkin kembali lagi ke zaman sebelum pandemi. “Inilah yang harus kita mitigasi segera. Apalagi saat ini Pertamina dan Pemerintah memiliki banyak program kerja yang saling bersinggungan, seperti subsidi, financing, proyek-proyek dan kegiatan operasional untuk memenuhi kebutuhan energi nasional sehingga kita perlu koordinasi yang baik, baik dari sisi  perencanaan maupun pelaksanaan di lapangan,” ujarnya, Rabu (13/5).

Staff Ahli Menteri PPN Bidang Sinergi Ekonomi dan Pembiayaan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Amalia Adininggar Widyasanti yang menjadi salah satu pembicara dalam acara tersebut mendukung pernyataan Heru Setiawan. Menurutnya, dunia akan menuju ke arah new normal.

"Jika virus sudah mulai hilang atau mereda, dunia tidak akan kembali kepada kondisi normal sebelum pandemi karena manusia akan bekerja, belajar dengan pola baru," jelasnya.

Hal ini dibuktikan dengan meluasnya dampak pandemi secara global. “Pandemi Covid-19 telah membuat 213 negara mengalami kontraksi. IMF memperkirakan, tahun ini ekonomi global tumbuh minus 3 persen, namun ekonomi Indonesia diperkirakan masih tumbuh 0,5 persen,” ungkapnya.

Menurut  Amalia, sektor energi juga mengalami dampak yang signifikan. “Selain karena demand melemah karena adanya social distancing dan lockdown di berbagai negara, harga minyak terus turun. Bahkan pada 27 April lalu, turun hingga 12 dolar AS per barel. Ini adalah harga terendah selama 70 tahun terakhir. Semua komoditas turun, kecuali emas,” tambahnya.

Ia menegaskan, dalam jangka panjang banyak perubahan yang harus dicermati oleh dunia industri. "Setelah pandemi berlalu, perilaku konsumen pasti akan berubah. Ke depannya, kegiatan ekonomi cenderung menjadi less-contact economy dan tetap jaga jarak,” jelasnya.

Amalia memprediksi, permintaan terhadap produk yang terjamin higienis serta mengurangi perjalanan yang terlalu berisiko juga semakin meningkat. “Pola rantai suplai pun akan terpengaruh. Perusahaan akan mendekatkan rantai suplainya. Re-shoring dan near-shoring akan menjadi tren baru. Artinya, pola Global Value Chains (GVCs) yang membutuhkan transportasi yang panjang, tentu akan membutuhkan energi yang besar juga. Tren re-shoring dan near-shoring akan memperpendek jarak transportasi dan akan mengurangi permintaan energi dari sektor transportasi," terangnya.

Selain itu, peningkatan substitusi antar barang dan platform penjualan. "Barang impor cenderung digantikan dengan produksi dalam negeri, karena semua negara akan cenderung untuk memastikan jaminan supply chain. Penggunaan online platform juga lebih meningkat. Perubahan gaya konsumen inilah yang akan terjadi, percepatan substitusi antarbarang maupun substitusi platform penjualan," jelas Amalia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement