REPUBLIKA.CO.ID, oleh Arif Satrio Nugroho, Haura Hafizhah
Djoko Tjandra memang dikenal sebagai buronan di Tanah Air. Setelah Lurah Grogol Selatan dicopot karena menyalahi aturan telah menyediakan KTP bagi Djoko Tjandra, kini giliran publik dibuat terpana karena dia diketahui mengantongi surat jalan yang diterbitkan oleh Mabes Polri. Status buron agaknya tidak menghalangi Djoko Tjandra bebas berkeliaran di Indonesia.
Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah meminta Divisi Profesi dan Pengamanan Polri untuk mengusut dugaan surat jalan buron korupsi Joko Tjandra."Saya sudah meminta agar info terkait surat jalan tersebut agar didalami Div Propam Polri dan usut tuntas siapapun yang terlibat, dan kalau memang terbukti saya akan lakukan tindakan tegas," kata Sigit saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (15/7).
Surat itu diduga dikeluarkan oleh Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS yang berada di bawah Bareskrim. Pendalaman oleh Divpropam, kata Sigit merupakan upaya Polri untuk menjaga marwah institusi
"Sekaligus peringatan keras bagi seluruh anggota yang lain untuk tidak melakukan pelanggaran yang dapat merugikan dan merusak nama baik institusi," ujar Sigit.
Jenderal bintang tiga itu mengatakan, Bareskrim dan Polri sedang berbenah untuk bisa memberikan pelayanan yang lebih profesional dan membentuk penegak hukum yang bersih, serta dipercaya masyarakat. "Terhadap komitmen tersebut bagi anggota yang tidak bisa mengikuti silakan untuk mundur dari Bareskrim," kata Sigit menegaskan.
Surat Jalan untuk buronan cessie Bank Bali Djoko Tjandra atau tertera Joko Tjandra diduga dikeluarkan Bareskrim Polri melalui Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS, dengan Nomor: SJ/82/VI/2020/Rokorwas, tertanggal 18 Juni 2020. Surat itu ditandatangi Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri Brigjen Prasetyo Utomo.
Dalam surat jalan tersebut, Djoko Tjandra disebutkan berangkat ke Pontianak, Kalimantan Barat, pada 19 Juni dan kembali pada 22 Juni 2020. Transportasi yang digunakan adalah pesawat terbang.
Wakil Ketua Komisi III (Hukum) DPR RI Desmond Junaidi Mahesa mempermasalahkan pencabutan red notice Joko hingga surat jalan yang diduga dikeluarkan Biro Korwas Bareskrim Polri. "Ya fenomena ini kan fenomena yang sebenarnya aneh bin ajaib ya dalam konteks kewajaran. Alasan apa mengeluarkan pencabutan (red notice) Djoko Tjandra," kata Desmond saat dihubungi.
Red notice Joko Tjandra diketahui sempat dicabut di Interpol. Pihak yang memiliki kewenangan mencabut red notice di Interpol adalah Polri. Tak berhenti di situ, Biro Pengawasan dan Koordinasi PPNS yang ada di bawah Bareskrim Polri juga diduga mengeluarkan surat jalan untuk sang buron.
"Ini yang menurut saya keanehan. Ada apa pengelolaan surat yang dikelola Prasetyo ini," kata Politikus Gerindra ini.
Terlepas dari itu, Desmond mengapresiasi pernyataan Kepala Bareskrim yang akan menindak tegas bila Biro Korwas benar-benar mengeluarkan surat jalan untuk Djoko Tjandra. "Ini kita serahkan saja pada internal institusi Polri dalam hal ini adalah Propam untuk mengambil keputusan. Dan keputusan ini saya sebagai pimpinan komisi III mengapresiasi tindakan (Kabareskrim) ini," kata Desmond menambahkan.
Indonesia Police Watch (IPW) juga mengecam keras Bareskrim Polri yang sudah mengeluarkan surat jalan. Berkat surat jalan dari Polri buronan kelas kakap itu bebas berpergian dari Jakarta ke Kalimantan Barat dan kemudian menghilang lagi.
"Yang menjadi pertanyaan IPW apakah mungkin sekelas jenderal bintang satu (Brigjen) dengan jabatan Kepala Biro Karokorwas PPNS Bareskrim Polri berani mengeluarkan surat jalan untuk seorang buronan kakap sekelas Djoko Tjandra," kata Ketua Presidium IPW Neta S Pane dalam pesan yang diterima Republika.co.id, Rabu (15/7).
Menurut dia, biro tersebut tidak punya urgensi untuk mengeluarkan surat jalan untuk seorang pengusaha dengan label yang disebut Bareskrim Polri sebagai konsultan. IPW pun mempertanyakan siapa yang memerintahkan Brigjen Prasetyo Utomo untuk memberikan surat jalan itu.
"Apakah ada sebuah persekongkolan jahat untuk melindungi Djoko Tjandra. Untuk itu Komisi III DPR harus membentuk Pansus Djoko Tjandra untuk mengusut kemungkinan adanya persengkongkolan jahat untuk melindungi koruptor yang menjadi buronan itu," kata dia.
IPW mendesak agar Brigjen Prasetyo Utomo segera dicopot dari jabatannya dan diperiksa oleh Propam Polri. Prasetyo Utomo sendiri adalah alumni Akpol 1991, teman satu Angkatan dengan Kabareskrim Komjen Sigit.
IPW mengecam keras tindakan Bareskrim Polri yang sangat tidak promoter, yang tidak segera menangkap buronan kelas kakap Djoko Tjandra, yang sudah masuk ke dalam markas besarnya.
"Tapi ironisnya, Djoko Tjandra malah dilindungi dan diberikan Surat Jalan. Melihat kinerja Bareskrim Polri yang mengerikan ini, sudah saatnya Presiden Jokowi turun tangan mengevaluasi kinerja Bareskrim Polri," ucap Neta.
Sebab, tambah Neta, melindungi dan memberi surat jalan pada buronan kasus korupsi sekelas Djoko Tjandra sama artinya menampar muka Presiden Jokowi yang selalu menekankan pemberantasan korupsi di negeri ini.
Terbitnya surat jalan bagi Djoko Tjandra sudah diadukan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) ke Ombudsman Republik Indonesia (ORI). "Kami mendapat informasi melalui foto sebuah surat jalan Djoko Tjandra dari oknum sebuah instansi. Foto tersebut belum dapat dipastikan asli atau palsu. Namun, kami dapat memastikan sumbernya adalah kredibel dan dapat dapat dipercaya. Kami berani mempertanggung jawabkan alurnya," kata Koordinator MAKI, Boyamin Saiman dalam keterangan tertulis, Senin (13/7).
Ia mengaku di foto yang ia dapatkan terdapat kop surat, nomor surat jalan, pejabat yang menandatangani surat beserta dengan stempelnya. Namun, untuk azas praduga tidak bersalah dan mencegah fitnah maka ia sengaja menutupnya.
"Untuk memastikan kebenaran surat jalan tersebut, kami akan mengadukannnya kepada Ombusdman RI guna data tambahan sengkarut perkara Joko Tjandra selama berada di Indonesia mulai tanggal 12 Mei 2020 hingga 27 Juni 2020," kata dia.
Ia menambahkan selama jangka waktu tersebut Djoko Tjandra telah mendapat KTP elektronik, mendapat paspor baru, mengajukan PK di PN Jaksel, mendapat status bebas dan tidak dicekal serta bisa masuk keluar Indonesia tanpa terdeteksi.
"Jika mengacu foto surat jalan tersebut maka hampir dapat dipastikan Djoko Tjandra masuk Indonesia melalui pintu Kalimantan (pos Entikong) dari Kuala Lumpur. Setidaknya jika aparat pemerintah Indonesia serius melacaknya maka sudah mengerucut pintu masuknya adalah dari Malaysia dan bukan dari Papua Nugini," kata dia.
Direktur Jenderal (Dirjen) Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM Jhoni Ginting mengakui, saat ini memang ada jalur-jalur ilegal untuk masuk ke Indonesia. Jalur inilah yang disebutnya sulit dipantau oleh pihaknya.
"Ini bukan mengeles atau apa, tapi banyak juga PMI (pekerja migran Indonesia) kita yang ilegal, yang masuk ke Malaysia, yang kita juga tidak tahu masuknya dari mana," ujar Jhoni dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR, Senin (13/7).
Ia menjelaskan, jalur ilegal itu ada di perbatasan Papua-Papua Nugini dan Kalimantan-Malaysia. Serta, adanya jalur tradisional Aceh-Thailand Selatan dan Nusa Tenggara Timur-Timor Leste.
"Celah seperti inilah yang menurut hemat kami sering atau bisa dimanfaatkan oknum untuk keluar masuk Indonesia secara tidak resmi atau ilegal," ujar Jhoni.
Adapun seseorang yang ada dalam daftar cekal, saat masuk ke Indonesia lewat jalur resmi akan dikategorikan ke indikator merah. Petugas imigrasi akan langsung mengunci datanya, dan selanjutnya melakukan koordinasi dengan kementerian atau lembaga yang mencekalnya.
"Dicek dulu kementerian atau lembaga terkait, supervisor atau pejabat berwenang akan berkoordinasi langsung dengan kementerian atau lembaga yang meminta," ujar Jhoni.
Djoko adalah buron BLBI yang juga terpidana kasus cessie Bank Bali sebesar Rp 546 miliar masuk dalam daftar buronan interpol sejak 2009. Djoko yang warga Indonesia itu resmi jadi warga Papua Nugini sejak Juni 2012.
Sejak 2009, dia meninggalkan Indonesia. Saat itu sehari sebelum Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan keputusan atas perkaranya, Djoko berhasil terbang ke PNG dengan pesawat carteran. Di sana Djoko mengubah indentitasnya dengan nama Joe Chan dan memilih berganti kewarganegaraan menjadi penduduk PNG.
Dalam kasusnya, Djoko oleh MA diputus bersalah dan harus dipenjara 2 tahun. Tak hanya itu, ia juga diwajibkan membayar denda Rp 15 juta serta uangnya di Bank Bali sebesar Rp 546 miliar dirampas untuk Negara. Belakangan, diketahui sosok Djoko diduga lebih banyak berada di Singapura.