REPUBLIKA.CO.ID, oleh Arif Satrio Nugroho, Nawir Arsyad Akbar
Komisi III DPR tengah berupaya menggelar rapat dengan pendapat (RDP) gabungan membahas kasus buron Djoko Tjandra yang melibatkan penegak hukum dan kementerian terkait. Namun, realisasi RDP itu terhambat lantaran surat izin rapat gabungan yang diajukan Komisi III DPR masih tertahan di meja Wakil Ketua DPR Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, Azis Syamsuddin.
Ketua Komisi III DPR Herman Herry mengatakan, surat izin untuk menggelar RDP itu telah dikirim ke pimpinan DPR sejak Rabu (15/7). Komisi III DPR merasa perlu meminta izin kepada pimpinan karena RDP akan digelar pada masa reses setelah menerima dokumen berupa surat jalan buronan Joko Tjandra dari Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI), Selasa (14/7).
"Tentunya kami menganggap kasus ini bersifat super urgent sehingga berdasarkan mekanisme Tatib DPR, kami harus meminta izin kepada pimpinan DPR," kata Herman, ketika dikonfirmasi wartawan, Jakarta, Jumat (17/7).
Sayangnya, kata Herman, hingga saat ini surat tersebut tidak ditandatangani oleh Azis Syamsuddin sebagai Wakil Ketua DPR bidang Korpolkam. Sementara, Ketua DPR Puan Maharani sesungguhnya telah mengizinkan dan menyetujui rencana RDP yang rencananya digelar Selasa (21/7).
“Sebagai informasi, Ketua DPR telah mengizinkan dan menyetujui rencana RDP tersebut pada masa reses hari Selasa depan (pekan ini). Maka dari itu, Ketua DPR mendisposisi izin tersebut kepada Wakil Pimpinan DPR bidang Korpolkam,” kata Herman.
Berdasarkan Informasi terakhir dari sekretariat, kata Herman, surat tersebut tidak ditandatangai oleh Azis disebabkan ada putusan Badan Musyawarah (Bamus) DPR yang melarang RDP Pengawasan oleh Komisi pada masa reses.
"Sampai saat ini saya juga masih menunggu untuk melihat salinan putusan Bamus tersebut," kata Herman.
Berdasarkan Pasal 310 Tatib DPR, segala surat keluar/surat undangan rapat harus ditandatangani oleh salah seorang pimpinan DPR atau Sekjen DPR atas nama pimpinan DPR. “Jadi pimpinan DPR membagi tanda tangan sesuai dengan bidang kerja masing-masing," terang Herman.
Politikus PDI Perjuangan itu menegaskan, Komisi III DPR tetap berkomitmen untuk terus mengawasi aparat penegak hukum dalam penuntasan kasus buronan Djoko Tjandra. Ia memastikan, Komisi III tidak akan menunda-nunda pelaksanaan RDP tersebut.
Senada dengan Herman, anggota Komisi III Arsul Sani mengatakan, pihaknya akan tetap mengusahakan agar RDP dapat terlaksana. Kasus lolosnya Djoko Tjandra dinilainya perlu dibahas segera.
"Iya dong (diusahakan), iya karena kan ini ada perbedaan. Katakanlah sisi pandang terkait ketentuan Undang-Undang MD3 itu," ujar Arsul di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (20/7).
Arsul membandingkan dengan rapat yang digelar oleh komisi lainnya di DPR pada masa reses sebelumnya.
"Kita juga lihat misalnya Komisi II di masa reses juga melakukan rapat-rapat terkait pilkada itu," ujar Arsul.
Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin membantah tudingan bahwa dirinya menolak menandatangani surat yang diberikan Komisi III terkait RDP gabungan terkait kasus Djoko Tjandra. Azis beralasan, dia hanya menjalankan Tatib DPR.
"Saya menjalankan tatib dan keputusan bamus (Badan Musyawarah)," kata Azis melalui pesan singkatnya pada Republika, Sabtu (18/7).
Aziz mengatakan, dirinya hanya ingin menjalankan Tatib DPR dan putusan Bamus, yang melarang RDP Pengawasan oleh Komisi pada masa reses. Menurut Aziz, ketentuan ini tertuang dalam Pasal 1 angka 13 yang menerangkan bahwa Masa Reses adalah masa DPR melakukan kegiatan di luar masa sidang.
"Terutama di luar gedung DPR untuk melaksanakan kunjungan kerja" kata Azis.
Azis menjelaskan, sesuai Tatib DPR Pasal 52 ayat 5, dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf e, Bamus DPR dapat menentukan jangka waktu penanganan suatu rancangan undang-undang.
Bamus DPR juga dapat memperpanjang waktu penanganan suatu rancangan undang-undang. Kemudian, Bamus bisa mengalihkan penugasan kepada alat kelengkapan DPR lainnya apabila penanganan rancangan undang-undang tidak dapat diselesaikan setelah perpanjangan. Lalu, Bamus dapat menghentikan penugasan dan menyerahkan penyelesaian masalah kepada rapat paripurna DPR.
"Di Bamus sudah ada perwakilan masing-masing fraksi, sehingga informasi kesepakatan dan keputusan yang terjadi bisa dikoordinasikan di fraksi masing-masing. Hal ini penting agar komunikasi dan etika terjalin dengan baik" ujarnya.
Azis Syamsuddin mengklaim dirinya selalu mendukung kinerja teman-teman komisi. Namun, yang terpenting sesuai dengan aturan dan mekanisme di Tata Tertib dan Bamus. Hal inilah yang menjadi pijakan dirinya dalam menjalankan tugas sebagai bagian dari pimpinan DPR.
"Bahwa hal lebih penting adalah menanggapi perkembangan kasus Djoko Tjandra, dimana kasus tersebut harus diusut sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Oknum-oknum yang terlibat dalam hal tersebut harus ditindak tegas" tegasnya.
RDP gabungan yang tengah diupayakan Komisi III DPR adalah buntut dari beredarnya Surat Jalan untuk Djoko Tjandra diduga dikeluarkan Bareskrim Polri melalui Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS, dengan Nomor: SJ/82/VI/2020/Rokorwas, tertanggal 18 Juni 2020. Surat itu ditandatangi Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri Brigjen Prasetijo Utomo yang belakangan dicopot dari jabatannya.
Dalam surat jalan tersebut, tertulis nama Joko Tjandra (bukan Djoko Tjandra) disebutkan berangkat ke Pontianak Kalimantan Barat pada 19 Juni dan kembali pada 22 Juni 2020.
Pada Selasa (14/7), Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) menyerahkan foto surat jalan Djoko Tjandra pada Komisi III (Hukum) DPR RI. Komisi Hukum DPR diharapkan mengambil tindakan atas surat jalan yang dikeluarkan oleh salah satu institusi pemerintah itu.
"Untuk itu saya datang ke sini untuk menyuplai data, tidak saya pakai sendiri, saya juga serahkan ke Ombudsman, tapi kemudian karena gegap gempitanya saya meluangkan waktu datang ke sini," kata Koordinator MAKI, Boyamin Saiman.