REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Rasulullah SAW memang manusia yang paling sempurna yang Allah SWT ciptakan, namun bukan berarti beliau tidak pernah merasakan kesedihan sama sekali. Salah satu kesedihan yang dialami beliau adalah ketika paman yang dicintainya, Abu Thalib, meninggal dunia.
Abu Thalib sepanjang hidupnya sangat mencintai dan melindungi Rasulullah SAW. Meski sepanjang hidupnya itu, dia belum sama sekali mengucapkan dua kalimat syahadat.
Dalam buku Ali bin Abi Thalib karya Ali Audah dijelaskan, bahkan menjelang kematian Abu Thalib, Rasulullah menawarkan paman yang dicintainya itu untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Namun Abu Thalib enggan mengucapkan dua kalimat itu dan berkata: “Dengan agama Abdul Muthalib,”.
Setelah itu, Abu Thalib pun meninggal dunia. Rasulullah amat bersedih dan memohonkan ampunan kepada Allah untuk paman yang dicintainya itu. Lalu Allah merespons sikap Rasulullah SAW ketika itu dengan menurunkan wahyu. Allah SWT berfirman dalam Alquran surat At-Taubah ayat 113 berbunyi:
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَىٰ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
“Ma kana linnabiyyi walladzina amanu an yastaghfiru lilmusyrikina walau kanu uli qurba min ba’di maa tabayyana lahum annahum ashabal-jahim.”
Artinya: “Tidaklah patut bagi Nabi dan orang-orang beriman memohonkan ampunan bagi orang-orang musyrik walau mereka kerabat dekat sesudah nyata bagi mereka. Bahwa mereka menjadi penghuni api neraka.”
Ali Audah menjelaskan bahwa para mufasir (ahli tafsir) umumnya sepakat ayat tersebut berkaitan dengan sikap Abu Thalib menjelang kematiannya yang menolak ajakan Nabi.
Ajakan Nabi yang dilandaskan dengan ketakwaan diiringi dengan rasa cinta kasih terhadap pamannya. Nabi ingin pamannya beriman, namun kehendak Abu Thalib berkata lain.