REPUBLIKA.CO.ID, SYDNEY -- Pendapatan Vanuatu tetap surplus di tengah pandemi Covid-19. Vanuatu surplus karena pemerintah mengesahkan penjualan status kewarganegaraan yang sempat menuai perdebatan di masyarakat.
Pemerintah Vanuatu pada Kamis (20/8) melaporkan pendapatan negara surplus sebanyak 3,8 miliar vatu (sekitar Rp504,5 miliar). Ini karena adanya 32 persen kenaikan pada penjualan kewarganegaraan senilai 7,1 miliar vatu (sekitar Rp922,36 miliar).
Tingginya angka penjualan paspor/status kewarganegaraan Vanuatu membantu negara itu melunasi utang dari sejumlah negara, salah satunya China. Namun, beberapa pengamat mengingatkan praktik penjualan paspor itu dapat merusak hubungan yang menguntungkan dengan beberapa negara, khususnya Australia.
"Beberapa dari mereka yang membeli paspor ini masuk daftar merah Interpol, dan semakin lama praktik itu berlangsung, semakin berbahaya untuk nilai paspor tersebut," kata Direktur Program Kepulauan Pasifik Lowy Institute, Jonathan Pryke.
Vanuatu mengenakan harga 130 ribu dolar AS (sekitar Rp1,92 miliar) untuk status kewarganegaraannya. Pemegang paspor Vanuatu menikmati fasilitas bebas visa ke 100 negara dan wilayah, termasuk di antaranya Uni Eropa, Rusia, dan Hong Kong, China.
Pengajuan visa ke wilayah tersebut kerap sulit untuk pemegang paspor dari negara lain. Untuk pembelian paspor Vanuatu, pemerintah tidak menetapkan aturan kependudukan.
Skema penjualan itu dinilai beberapa pihak kontroversial, khususnya setelah empat warga China dicabut status kewarganegaraannya oleh Vanuatu pada tahun lalu karena mereka terbukti masuk dalam daftar buron Interpol.
Walaupun demikian, pemerintah mengatakan skema itu memungkinkan pihaknya meluncurkan paket bantuan senilai 4,2 miliar vatu (sekitar Rp545,87 miliar) di tengah perkiraan 10 ribu rakyat Vanuatu kehilangan pekerjaannya karena pandemi.
Nilai paket bantuan itu jadi salah satu yang terbesar di antara negara-negara kawasan Pasifik. Vanuatu merupakan salah satu negara yang tidak memungut pajak perusahaan atau pribadi.