REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani mengatakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa menyampaikan pada Kementerian Koordinator Politik Hukum dan HAM (Kemenkopolhukam) jika permohonan supervisi terkait kasus Jaksa Pinangki Sirna Malasari tak direspons Kejaksaan Agung (Kejagung). Arsul mengatakan, berdasarkan UU no. 19 tahun 2019 KPK diberi wewenang untuk melakukan kordinasi dan supervisi khusus dakan penanganan kasus korupsi.
Dalam hal tersebut, KPK bisa mengajukan kewenangan tersebut pada Kejagung. "Jika Kejagung tidak merespons dengan baik permintaan kordinasi dan supervisi ini maka bisa KPK menyampaikannya melalui Menko Polhukam," kata Arsul saat dihubungi Republika.co.id, Senin (31/8).
Ia mengatakan Kemenko Polhukam merupakan pembantu Presiden yang diberi wewenang, termasuk dalam urusan melakukan kordinasi penegakan hukum diantara institusi-institusi penegakan hukum. "Kami di Komisi III meminta KPK bekerja konkret dulu untuk bekerja mengajukan koordinasi dan supervisi tersebut dengan Kemenko Polhukam dan Kejagung," kata Arsul.
Ia juga mengingatkan, kewenangan KPK hanya dalam penanganan kasus korupsi dan pencucian uang dari hasil korupsi.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) Nawawi Pomolango mengatakan, Kejagung sebaiknya menyerahkan kasus suap Pinangki kepada KPK. Namun, Kejagung menyatakan akan tetap menangani kasus yang melibatkan Pinangki.
Menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejakgung Hari Setiyono, Kejagung sudah melakukan koordinasi dan supervisi dengan KPK dalam penanganan kasus Pinangki. Dia pun menyebut tak ada istilah inisiatif penyerahan kasus.
Sedangkan kasus red notice dan surat jalan yang melibatkan perwira polisi Prasetijo Utomo dan Napoleon Bonaparte juga masih dalam penanganan Bareskrim. Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri masih memeriksa seluruh tersangka.