REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Permintaan agar pemerintah menunda Pilkada serentak 2020 terus bermunculan. Direktur Eksekutif Citra Institute Yusa’ Farchan menilai Pilkada harus ditangguhkan sampai adanya indikator yang terukur dan akurat di mana penularan Covid-19 dapat dikendalikan.
"Menunda pilkada bukan berarti tidak menjamin hak-hak politik konstitusional warga negara terkait dengan hak memilih dan dipilih," kata Yusa Farchan dalam keterangan, Selasa (22/9).
Yusa mengatakan, menunda pilkada juga bukan berarti mengebiri proses rekonsolidasi demokrasi lokal yang sedang berlangsung. Menurutnya, yang dikhawatirkan justru adalah rendahnya kualitas penyelenggaraan pilkada jika pelaksanaannya ternyata menemui banyak kendala di lapangan akibat Pandemi Covid-19.
"Khususnya terkait dengan tahapan kampanye, proses pemungutan suara dan penghitungan suara," katanya.
Yusa mengatakan, tidak adanya jaminan dan keselamatan perlindungan warga negara khususnya pada saat tahapan pemungutan suara justru berpotensi menyebabkan partisipasi politik masyarakat cenderung rendah. Dia melanjutkan, kondisi ini jelas akan menurunkan kualitas pilkada sehingga berdampak pada rendahnya legitimasi politik kepemimpinan daerah hasil pilkada.
Dia menjelaskan, UU Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi UU, memberi ruang bahwa pemungutan suara serentak pada Desember 2020 dapat ditunda dan dijadwalkan kembali apabila tidak dapat dilaksanakan karena bencana nasional pandemi covid-19 belum berakhir.
"Klausul hukum tersebut jelas memberikan dasar konstitusional bagi penundaan pilkada," katanya.
Menurutnya, keputusan bersama Komisi II DPR RI, Mendagri, KPU, Bawaslu dan DKPP, yang tetap bersikukuh melaksanakan pemungutan suara semakin menegaskan kecenderungan bahwa Pilkada di tengah pandemi Covid-19 lebih merefleksikan kehendak kepentingan elite dari pada kepentingan publik. Dia mengatakan, argumentasi yang disampaikan Pemerintah, DPR RI dan penyelenggara pemilu tidak boleh dibangun berdasarkan perspektif dan pendekatan politik-kekuasaan saja.
"Tetapi harus didasarkan pada pendekatan yang lebih memadai dengan memperhatikan realitas yang terjadi di masyarakat di mana momentum pilkada telah menjadi simpul baru penyebaran virus corona," katanya.
Dia meminta DPR, pemerintah dan penyelenggara pemilu untuk tidak semata-mata menggunakan pendekatan politik-kekuasaan. Tetapi menggunakan pendekatan yang lebih komprehensif dengan memperhatikan aspek keselamatan dan perlindungan kesehatan warga negara.
"Pemerintah dan penyelenggara pemilu untuk menyiapkan regulasi dan manajemen krisis kebencanaan yang lebih memadai terkait dengan manajemen pemilihan umum di tengah bencana, baik bencana alam maupun non-alam," katanya.