REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ahmad Taufan Damanik mengkritisi Polri yang terlalu berlebihan dalam menyikapi masyarakat penolak Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker). Taufan menyatakan berbedaan pendapat masyarakat dalam menyikapi suatu regulasi merupakan hal yang wajar.
Karena itu, Taufan menolak kalau Polri berlebihan mencegah aksi masyarakat penolak UU Ciptaker. Apalagi hak menyatakan pendapat diatur dalam UUD 1945. "Ya (Polri) berlebihan. Aksi unjuk rasa, menyatakan pendapat adalah hak setiap orang," kata Taufan pada Republika, Selasa (6/10).
Pada prinsipnya, Komnas HAM tak menganjurkan masyarakat menghentikan unjuk rasa di masa pandemi Covid-19. Namun Taufan mengimbau pengunjuk rasa menaati protokol kesenatan.
"Dalam situasi Covid-19, tetap mesti memperhatikan protokol kesehatan," ujar Taufan.
Di sisi lain, Taufan menyoroti pengesahan UU Ciptaker yang dianggap minim partisipasi publik. UU itu disebut lahir hanya dari proses politik dan lobi-lobi tanpa mendengarkan aspirasi publik.
"Kita sesungguhnya menyesalkan DPR dan pemerintah yang tetap kukuh mengetuk palu pengesahan UU Cipta Kerja yang semestinya membuka ruang partisipasi masyarakat seluas-luasnya," tegas Taufan.
Diketahui, Kapolri Jenderal Polisi Idham Azis menerbitkan Surat Telegram Kapolri Nomor: STR/645/X/PAM.3.2./2020 bertanggal 2 Oktober 2020. Isinya soal antisipasi kepolisian atas unjuk rasa dan pemantauan situasi berpotensi konflik dalam rangkaian pengesahan Rancangan UU Ciptaker.
Ada 12 poin yang diatur dalam surat itu, beberapa di antaranya seperti pengerahan fungsi intelijen dan deteksi dini terhadap elemen buruh dan masyarakat yang berencana berdemonstrasi dan mogok nasional; melakukan patroli siber pada media sosial dan manajemen media untuk bangun opini publik yang tidak setuju dengan unjuk rasa di tengah pandemi; serta tidak memberikan izin kepada pengunjuk rasa untuk berdemonstrasi maupun keramaian lainnya.
Poin lainnya menginstruksikan perihal melakukan kontra narasi isu-isu yang mendiskreditkan pemerintah. Surat telegram itu diklaim demi menjaga kondusifitas situasi keamanan dan ketertiban masyarakat di saat pandemi.