Ahad 11 Oct 2020 23:26 WIB

Seruan Jokowi Soal Uji Materi UU Ciptaker Dipertanyakan

Pemerintah dinilai menjadikan MK seolah-olah hanya sebagai keranjang sampah.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Andri Saubani
residen Joko Widodo (Jokowi) mengenakan pakaian adat Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timor (NTT) dalam upacara peringatan detik-detik proklamasi kemerdekaan Indonesia ke-74 di halaman Istana Merdeka, Jakarta, Senin (17/8) pagi.
Foto: YouTube
residen Joko Widodo (Jokowi) mengenakan pakaian adat Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timor (NTT) dalam upacara peringatan detik-detik proklamasi kemerdekaan Indonesia ke-74 di halaman Istana Merdeka, Jakarta, Senin (17/8) pagi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (Sigma) Said Salahudin mempertanyakan pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang mempersilakan pihak manapun yang tidak puas dengan Undang-undang (UU) Cipta Kerja untuk mengajukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Menurutnya yang dituntut oleh kelompok buruh, mahasiswa dan sejumlah elemen masyarakat bukanlah judicial review, melainkan yaitu legislative review, atau executive review.

"Seruan Presiden Joko Widodo atau Jokowi agar pihak yang tidak puas terhadap Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) bak lempar batu, sembunyi tangan," kata Said dalam keterangannya yang dikonfirmasi, Ahad (11/10).

Baca Juga

Said menilai, tidak sepantasnya pemerintah menyerahkan begitu saja persoalan omnibus law UU Cipta Kerja kepada lembaga negara yang lain. Dirinya beranggapan, cara tersebut seolah-olah pemerintah menjadikan MK hanya sebagai keranjang sampah.

"Konstitusionalitas undang-undang dianggap hanya urusan MK, sementara DPR dan pemerintah bisa bebas menyimpangi konstitusi. Padahal, sistem hukum kita tidak mengatur demikian. Dalam membentuk undang-undang DPR dan Presiden harus tetap memperhatikan ketentuan UUD 1945 dan aspirasi rakyat," ujarnya.

Ia berharap Pemerintah dan DPR sensitif terhadap gugatan buruh dan masyarakat yang menginginkan agar Pemerintah dan DPR mencabut UU Cipta Kerja. Bahwa ada problem waktu bagi DPR dan Presiden untuk membentuk undang-undang baru guna membatalkan UU Ciptaker, itu perkara lain.

"Yang penting bagi masyarakat adalah ada keinsafan dan jaminan dari kedua lembaga itu untuk membatalkan omnibus law," ucapnya.

Selain itu, Said menilai proses uji materi di Mahkamah Konstitusi bukan satu-satunya cara untuk mengubah atau membatalkan undang-undang. Ada pula masyarakat yang menuntut agar Presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) agar UU Ciptaker bisa dibatalkan dalam waktu yang lebih cepat.

"Jika DPR dan Presiden memiliki kepekaan dan pro-aktif terhadap aspirasi rakyat, semestinya tuntutan masyarakat itu mereka selesaikan sendiri. Bukan malah dilempar ke lembaga lain," tegasnya.

Sebelumnya, Presiden Jokowi mempersilakan jika ada pihak yang tidak puas dengan UU Cipta Kerja untuk menempuh jalur konstitusi. Jokowi memberi peluang agar penentang UU Ciptaker mengajukan uji materi ke MK.

Dalam pidato klarifikasinya terkait UU Ciptaker pada Jumat (9/10), Presiden tidak menyinggung opsi penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk mencabut UU Cipta Kerja. "Jika masih ada ketidakpuasan terhadap UU Cipta Kerja ini silakan mengajukan uji materi atau judicial review melalui MK. Sistem ketatanegaraan kita memang mengatakan seperti itu jadi kalau masih ada yang tidak puas dan menolak silakan diajukan uji materi ke MK," ujar Jokowi dalam keterangan pers di Istana Kepresidenan Bogor, Jumat (9/10).

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement