REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Mukti Ali Qusyairi, Ketua LBM PWNU DKI Jakarta dan Marbot Rumah Daulat Buku (Rudalku)
RUU Cipta Kerja diputuskan menjadi UU Ciptaker (disingkat UU CK) pada 5 Oktober 2020. UU ini dibahas kolaborasi pemerintah dan DPR. Terjadi kontroversi dan direspons oleh sebagian kalangan dengan demontrasi.
UU CK terkait dengan buruh, pengusaha, dan pemerintah mengaturnya. Ketiga pihak ini perlu didudukkan dan dilihat secara proporsional, berimbang, kritis, dan adil dalam narasi UU CK tersebut.
Jika kita melihat kepemerintahan Joko Widodo dalam dua periode, agaknya di periode kedua ini fokus utamanya adalah memajukan SDM dan menggenjot kemajuan ekonomi setelah sebelumnya pada periode pertama konsen dalam pembangunan infrastruktur. Infrastruktur adalah urat nadi dan landasan laju pergerakan ekonomi dan multiplies effect.
Buruh dan pengusaha
Sejatinya, antara pengusaha dan buruh sama-sama saling membutuhkan. Pengusaha butuh buruh agar perusahaannya berjalan dengan semestinya. Buruh butuh pengusaha, sebab buruh butuh lapangan pekerjaan agar mereka bisa bekerja dan mendapatkan penghasilan untuk menghidupi diri dan keluarganya.
Pemerintah mengatur hajat rakyatnya yang di dalamnya terdapat buruh dan pengusaha agar kemaslahatan timbal-balik tercipta di antara buruh dan pengusaha serta mendapatkan pemasukan pajak untuk ongkos pembangunan bangsa. Pemerintah pun berkewajiban menyediakan lapangan pekerjaan untuk rakyat. Caranya dengan memberikan kemudahan dunia kerja dan investasi dari dalam maupun dari luar untuk membuka lapangan pekerjaan. Lapangan pekerjaan dibutuhkan bagi angkatan kerja baru dan pengangguran.
Pihak buruh protes dan turun ke jalan karena berasumsi bahwa UU CK akan merugikan mereka dan menguntungkan pengusaha. Apa betul demikian?
Ternyata dalam UU CK terdapat beberapa poin yang menguntungkan buruh, yaitu masih adanya uang pesangon, upah minimum regional (UMR) tetap ada dan tidak dihitung per jam, hak cuti tetap ada, status karyawan tetap ada dan bahkan perusahaan tidak bisa mem-PHK secara sepihak, jaminan sosial masih ada, tenaga kerja asing tidak bebas masuk dan harus memenuhi syarat dan peraturan yang ketat. Jika ada kejanggalan dan ketidakadilan, maka buruh pun mempunyai hak protes tanpa ada ancaman PHK. Sedangkan libur di luar tanggal merah, seperti libur hari Lebaran dan yang lainnya, tidak diatur UU melainkan diatur pemerintah.
Mungkin dalam imajinasi atau bayangan sebagian orang bahwa buruh berhadapan dengan pengusaha besar atau kapitalisme kakap. Padahal, realitasnya bahwa pengusaha di Indonesia tidak semuanya pengusaha besar. Sebanyak 90 persen UKM dan UMKM. Mereka juga punya pekerja atau buruh sehingga jangan seolah-olah UU CK dianggap menguntungkan pengusaha besar saja.
Jika baca RUU —yang kemudian menjadi UU CK—, UKM dan UMKM adalah pembahasan pertama dan prioritas. Sebagaimana dikatakan Teten Masduki, menteri UMKM bahwa UU CK bermanfaat untuk UMKM dan koperasi. Sebab, selain pemberian bantuan, pemerintah juga mempermudah perizinan dan pendampingan.
Selama ini, pembentukan koperasi sulit, harus minimal 20 anggota, dan UU CK mempermudah cukup 9 anggota saja. Dulu mendirikan UMKM untuk mendapatkan izinnya cukup sulit, UU CK mempermudah dengan cukup mendaftar saja. Dulu rapat cukup sulit untuk berkumpul, UU CK mempermudah cukup dengan digitalisasi.
Semangatnya adalah pengembangan dan kemajuan UMKM. Pemerintah juga memberikan alokasi dana khusus untuk mendanai pengembangan dan penopangan UMKM serta pemberian fasilitas dan bantuan perlindungan hukum.
Di satu sisi kita ingin maju dan kuat secara ekonomi. Akan tetapi, ada sebagian orang yang membangun narasi negatif kepada dunia usaha. Ini sikap kontradiktif dan penghambat bagi kemajuan ekonomi. Apalagi di masa pandemi Covid-19 terjadi krisis ekonomi akibat dari krisis kesehatan, mengharuskan semua negara—bukan hanya Indonesia— berlomba-lomba untuk mengatasi krisis. UU CK ini adalah solusi.
Demonstrasi
Kebebasan berpendapat dan demonstrasi adalah boleh, sah, dan dijamin oleh konstitusi. Akan tetapi, menurut Prof Dr KH Said Aqil Siroj, ketum PBNU, harus disampaikan secara beradab dan tidak boleh anarkistis. Sebab, merusak adalah haram.
Sayang seribu sayang, oknum demonstran berbuat anarkistis dengan membakar pasar tempat wong cilik mengais rezeki, warung makan Resto Legian terbakar, warung makan dekat Gedung DPRD DI Yogya terbakar, dan perusakan serta pembakaran fasilitas umum, seperti halte busway di Jakarta, 18 halte Transjakarta dirusak dan dibakar, sehingga diperkirakan kerugian Rp 46 miliar.
Dua eskalator di proyek MRT dirusak massa. Gedung bioskop Senen dibakar. Gedung Kementerian ESDM dirusak, mobil yang berada di depannya pun dirusak. Pos polisi dibakar.
Di Solo, truk Satpol PP dibakar massa. Di Surabaya, beberapa fasilitas umum dirusak dan dibakar. Di Sumut, puluhan polisi terluka dan sejumlah mobil dinas rusak. Alih-alih ingin membela buruh dan rakyat, tapi membakar pasar rakyat, membakar rumah makan dan kafe tempat rakyat ngopi, dan fasilitas umum yang pembangunannya dengan menggunakan uang rakyat melalui APBN/APBD. Demo atas nama rakyat buruh, akan tetapi destruktif dan merugikan rakyat. Ini sikap ambivalensi.
Jika konsisten berjuang untuk rakyat, tentu saja segala hal yang 'berbau' rakyat harus dijaga, dilindungi, dirawat, dan tidak dirusak. Fasilitas umum itu dibangun dengan pajak rakyat melalui APBN/APBD yang mestinya dijaga bersama-sama.
Demo sebagai nahi munkar (mencegah keburukan) tidak boleh menggunakan cara-cara munkar, tetapi harus dilakukan dengan cara-cara ma’ruf (baik). Perusakan, penjarahan, pembakaran, dan penyerangan terhadap aparat adalah kemunkaran yang haram sebagai ekspresi nahi munkar.
Disinyalir, gerakan demo mahasiswa dan buruh yang murni ingin menyampaikan aspirasi dan keberatannya, diselundupi oleh golongan yang menamakan dirinya Anarko, sebuah golongan yang gerakannya dengan melakukan anarkisme dan bahkan vandalisme.
Belum lagi secara politis, gerakan protes terhadap UU CK banyak dari pihak-pihak yang selama ini berseberangan dengan pemerintah, seperti KAMI, dan FPI-GNPF U-PA 212-HRS Center yang menuntut agar Jokowi mundur dari presiden. Sebagian tokoh NGO yang didanai founding asing yang konsen pada isu buruh, HAM, dan lingkungan pun bersuara menolak UU CK. Padahal amdal (analisis dampak lingkungan) ada di UU CK.
Sedangkan, NU sebagai ormas Islam terbesar lebih bersikap proporsional, moderat, dan kalaupun ada beberapa pasal —tidak semua pasal yang ada di UU CK— yang menurutnya bermasalah, tetapi dengan menempuh jalur konstitusional judicial review di MK. Sikap dan cara-cara konstitusional dalam menyampaikan keberatan ini mesti diteladani oleh kelompok lain agar tidak terjadi kerusuhan, chaos, dan tidak ada kerumunan di masa pandemi corona ini.
Lebih konstruktif-produktif lagi dalam menyikapi UU CK dengan membaca dan mendiskusikannya. Sebagaimana yang dilakukan LBM PWNU DKI Jakarta, Sabtu (29/8) lalu, bersama FMPP (Forum Musyawarah Pondok Pesantren), mendiskusikan RUU CK dan mengkajinya. Para kiai menyatakan bahwa UMKM, dunia kerja, dan investasi adalah maslahat bagi rakyat agar tercipta lapangan kerja sebanyak-banyaknya.
Sebab, pengangguran akan berbahaya bagi kehidupan, sumber dari kejahatan dan kerusakan. Karenanya, menciptakan lapangan kerja, sama dengan menyelamatkan kehidupan dan menciptakan perdamaian.