REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) 2003-2008 Jimly Asshiddiqie menegaskan putusan lembaga yang melakukan pengujian undang-undang itu berlaku final dan mengikat sejak dibacakan dan tidak memerlukan eksekusi. Melalui pesan singkat di Jakarta, Selasa (13/10), menurut dia, Pasal 59 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi justru sering disalahpahami.
Pasal yang dihapus dalam revisi UU MK yang terakhir itu berbunyi, "Jika diperlukan perubahan terhadap undang-undang yang telah diuji, DPR atau Presiden segera menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan peraturan perundang-undangan".
"Pasal itu malah bisa disalahpahami seakan putusan MK baru berlaku kalau sudah ditindaklanjuti. Yang benar, putusan MK berlaku final dan mengikat sejak dibacakan," ujar pakar hukum tata negara itu.
Jimly menuturkan, putusan pengujian undang-undang yang menyebabkan perubahan norma tidak memerlukan eksekusi seperti putusan Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya yang mengadili orang atau kasus konkret. Tanpa tindak lanjut pemerintah mau pun DPR, ia menegaskan saat pengujian undang-undang dikabulkan, maka undang-undang yang dikabulkan otomatis berubah.
Sebelumnya, terdapat pendapat pengujian Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja ke MK merupakan hal yang percuma karena dengan dihapusnya Pasal 59 ayat (2) UU MK setelah direvisi. Sebagian kalangan berpendapat, pemerintah dan DPR tidak harus menindaklanjuti putusan MK pascapenghapusan pasal tersebut.
Kendati naskah UU Ciptaker belum ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan diberi nomor, dua pengajuan permohonan uji materi sudah didaftarkan ke MK per Senin kemarin. Permohonan uji materi UU Ciptaker sudah diajukan oleh Dewa Putu Reza dan Ayu Putri selaku pekerja dengan nomor tanda terima 2034/PAN.MK/X/2020. Mereka memberi kuasa kepada Seira Tamara Herlambang dan Zico Leonard D Simanjuntak.
Kemudian, permohonan kedua diajukan oleh Dewan Pimpinan Pusat Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa (DPP FSPS) dengan nomor tanda terima 2035/PAN.MK/X/2020. Ketua umum DPP FSPS, Deni Sunarya dan sekretaris umumnya Muhammad Hafiz, mewakili gugatan UU Ciptaker di MK.
Menurut Kepala Bagian Humas dan Kerja Sama Dalam Negeri Mahkamah Konstitusi (MK), Fajar Laksono, jika UU Ciptaker sudah ditandatangani presiden dan diberi nomor, pemohon dapat menyertakannya pada proses perbaikan permohonan. "Sepanjang masih dalam rentang waktu perbaikan permohonan, bisa saja," kata dia.
Mimi Kartika