Jumat 06 Nov 2020 10:22 WIB

Buruh Meminta UU Ciptaker Dicabut atau Dibatalkan

UU Ciptaker hampir seluruhnya meruigikan buruh

Anggota Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) DIY menggelar Topo Pepe di Titik Nol Yogyakarta, Senin (2/11). Aksi mereka ini menuntut Gubernur DIY untuk memberikan upah minimum provinsi DIY 2021 yang layak. Saat ini UMP DIY sebesar Rp 1,765 juta merupakan terendah di Indonesia. Selain itu, mereka juga menuntut pencabutan UU Cipta Kerja.
Foto: Wihdan Hidayat / Republika
Anggota Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) DIY menggelar Topo Pepe di Titik Nol Yogyakarta, Senin (2/11). Aksi mereka ini menuntut Gubernur DIY untuk memberikan upah minimum provinsi DIY 2021 yang layak. Saat ini UMP DIY sebesar Rp 1,765 juta merupakan terendah di Indonesia. Selain itu, mereka juga menuntut pencabutan UU Cipta Kerja.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setelah diundangkannya UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja per tanggal 2 November, maka omnibus law UU Cipta Kerja sudah resmi berlaku.

Menanggapi hal itu, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) bersama buruh Indonesia secara tegas menyatakan menolak dan meminta agar undang-undang tersebut dibatalkan atau dicabut. 

“Setelah kami pelajari, isi undang-undang tersebut khususnya terkait klaster ketenagakerjaan hampir seluruhnya merugikan kaum buruh,” kata Presiden KSPI Said Iqbal di Jakarta, kemarin dalam rilisnya ke Republika.co.id.

Menurut kajian dan analisa yang dilakukan KSPI secara cepat setelah menerima salinan UU No 11 Tahun 2020 khususnya klaster ketenagakerjaan, ditemukan banyak pasal yang merugikan kaum buruh. Beberapa pasal tersebut antara lain: 

Berlakunya Kembali Sistem Upah Murah

Hal ini terlihat dengan adanya sisipan Pasal 88C Ayat (1) yang menyebutkan gubernur wajib menetapkan upah minimum provinsi dan Pasal 88C Ayat (2) yang menyebutkan gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu. 

Penggunaan frasa “dapat” dalam penetapan upah minimum kabupaten/kota (UMK) sangat merugikan buruh. Karena penetapan UMK bukan kewajiban, bisa saja gubernur tidak menetapkan UMK. Hal ini akan mengakibatkan upah murah. Kita ambil contoh di Jawa Barat. Untuk tahun 2019, UMP Jawa Barat sebesar 1,8 juta. Sedang UMK Bekasi sebesar 4,2 juta. JIka hanya ditetapkan UMP, maka nilai upah minimum di Bekasi akan turun.

Dengan kata lain, berlakunya UU Cipta Kerja mengembalikan kepada rezim upah murah. Hal yang sangat kontradiktif, apalagi Indonesia sudah lebih dari 75 tahun merdeka. Apalagi ditambah dengan dihilangkan upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota (UMSK dan UMSP), karena UU No 11 Tahun 2020 menghapus Pasal 89 UU No 13 Tahun 2003.

Dihilangkannya UMSK dan UMSP sangat jelas sekali menyebabkan ketidakadilan. Bagaimana mungkin sektor industri otomotip seperti Toyota, Astra, dan lain-lain atau sektor pertambangan seperti Freeport, Nikel di Morowali dan lain-lain, nilai Upah Minimum nya sama dengan perusahan baju atau perusahaan kerupuk. Itulah sebabnya, di seluruh dunia ada Upah Minimum Sektoral yang berlaku sesuai kontribusi nilai tambah tiap-tiap industri terhadap PDP negara.

Oleh karena itu KSPI meminta agar UMK harus tetap ada tanpa syarat dan UMSK serta UMSP tidak boleh dhilangkan. Jika ini terjadi, maka akan berakibat tidak ada income security (kepastian pendapatan) akibat berlakunya upah murah.

PKWT atau Karyawan Kontrak Seumur Hidup

UU No 11 Tahun 2020 menghilangkan periode batas waktu kontrak yang terdapat di dalam Pasal 59 UU No 13 Tahun 2003. Akibatnya, pengusaha bisa mengontrak berulang-ulang dan terus-menerus tanpa batas periode menggunakan PKWT atau karyawan.

Dengan demikian, PKWT (karyawan kobntrak) bisa diberlakukan seumur hidup tanpa pernah diangkat menjadi PKWTT (karyawan tetap). Hal ini berarti, tidak ada job security atau kepastian bekerja. 

Padahal dalam UU No 13 Tahun 2003, PKWT atau karyawan kontrak batas waktu kontraknya dibatasi maksimal 5 tahun dan maksimal 3 periode kontrak. Dengan demikian, setelah menjalani kontrak maksimal 5 tahun, maka karyawan kontrak mempunyai harapan diangkat menjadi karyawan tetap atau permanen apabila mempunyai kinerja yang baik dan perusahaan tetap berjalan. Tetapi UU 11 Tahun 2020 menghilangkan kesempatan dan harapan tersebut. 

Outsourcing Seumur Hidup

UU No 11 Tahun 2020 mengapus Pasal 64 dan 65 UU No 13 Tahun 2003. Selain itu, juga menghapus batasan 5 (lima) jenis pekerjaan yang terdapat di dalam Pasal 66 yang memperbolehkan penggunaan tenaga kerja outsourcing hanya untuk cleaning service, cattering, security, driver, dan jasa penunjang perminyakan. 

Dengan tidak adanya batasan terhadap jenis pekerjaan yang boleh menggunakan tenaga outsourcing, maka semua jenis pekerjaan di dalam pekerjaan utama atau pekerjaan pokok dalam sebuah perusahaan bisa menggunakan karyawan outsourcing. Hal ini mengesankan negara melegalkan tenaga kerja diperjual belikan oleh agen penyalur. Padahal di dunia internasional, outsourcing disebut dengan istilah modern slavery (perbudakan modern). 

Dengan sistem kerja outsourcing, seorang buruh tidak lagi memiliki kejelasan terhadap upah, jaminan kesehatan, jaminan pensiun, dan kepastian pekerjaannya. Karena dalam praktik, agen outsourcing sering berlepas tangan untuk bertanggungjawab terhadap masa depan pekerjanya. Hal ini, karena, agen outsourcing hanya menerima “success fee” per kepala dari tenaga kerja outsourcing yang digunakan oleh perusahaan pengguna (user). 

Oleh karena itu, KSPI meminta penggunaan tenaga kerja outsourcing hanya dibatasi 5 jenis pekerjaan saja sebagaimana diatur dalam UU No 13 Tahun 2003.

 

 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement