REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febryan A, Ali Mansur
Wakil Sekjen Persaudaraan Alumni (PA) 212 Novel Bamukmin membandingkan keramaian FPI dan pimpinannya IB HRS di beberapa lokasi dan kerumunan Gibran di Surakarta. Menurutnya, keramaian yang dialami oleh HRS serta simpatisannya tidak diperkirakan dan memang tidak ada agenda khusus mengundang ribuan orang.
"Sedangkan, acara Gibran itu teragendakan, tersistem, dan masif dalam rangkaian pilkada," ujar Novel kepada Republika, Jumat (20/11).
Dia menambahkan, agenda di Surakarta itu secara sengaja dan sadar dilakukan yang menghasilkan kerumunan. Jauh berbeda, kata dia, dengan peristiwa penjemputan HRS dan keramaian di Maulid Nabi serta pernikahan putri HRS.
"(Di kejadian HRS) itu sama sekali tidak ada kepanitiaan dan spontan," katanya.
Dirinya tak menampik ada sanksi yang diterima, dan terlanjur dibayarkan oleh pihaknya. Termasuk, sanksi terhadap beberapa petinggi polisi dan kepala daerah.
Namun menurutnya, sanksi dan hukuman itu adalah aksi tebang pilih dari pihak kepolisian. Dirinya menilai, langkah itu juga terlalu dipaksakan dan mengada-ngada.
"Tuntutan kami dari PA 212 jelas polisi segera hentikan pemanggilan dan pemeriksaan terhadap para ulama dan habaib dalam kegiatan peringatan maulid karena kejadian itu di luar perkiraan," katanya.
Pihaknya juga berharap, agar Polri bisa berlaku adil dan bertindak sesuai prosedur serta kewenangannya. Mengingat, 'olisi, kata dia, berada di bawah kegubernuran.
"Dan adapun PSBB tidak bisa dijerat oleh pidana dan denda walaupun pihak kami sudah terlanjur membayar denda," kata Novel.
Sebelumnya, pengacara FPI, Aziz Yanuar juga membeberkan sejumlah kegiatan pengumpulan massa tanpa ada penindakan dari kepolisian. Aziz menyebut kegiatan pengumpul massa di antaranya rapat koordinasi tingkat menteri di Bali pada Juni lalu.
Aziz menilai, kegiatan itu mengumpulkan massa tanpa mengenakan masker. Kemudian Elite Race Marathon di Magelang beberapa waktu lalu, para penonton berkumpul tanpa jaga jarak.
"Tidak ada sanksi dan denda serta tidak ada pencopotan terhadap aparat keamanan setempat," kata Aziz pada Republika, Selasa (17/11).
Aziz melanjutkan, kegiatan Gibran Rakabuming Raka terkait Pilwalkot Solo pada September lalu juga mengumpulkan massa. Menurut Aziz, Gibran juga melakukan konvoi, namun malah tak dianggap pelanggaran oleh Bawaslu setempat.
"Lalu ada itu longmarch Kirab Merah Putih di Banyumas dan konvoi daftar cawalkot Surabaya asal PDIP Eri Cahyadi-Armuji, sama pengajian akbar Habib Luthfi," ungkap Aziz.
Seperti diberitakan sebelumnya, rangkaian kegiatan acara HRS pada pekan lalu berbuntut panjang. Kapolri mencopot Kapolda Metro Jaya dan Kapolda Jabar karena dinilai tidak bisa menegakkan protokol kesehatan pada acara HRS.
Selain pencopotan dua kapolda, Polri lewat Polda Metro Jaya saat juga memproses hukum dugaan pidana dalam acara di Petamburan pada akhir pekan lalu. Polda Jabar juga tengah menyelidiki dugaan pidana pada acara HRS di Megamendung. Bogor. Polri juga berencana memanggil HRS.
"Kami minta klarifikasi (HRS), kita tunggu saja prosesnya. Jadi ini tim dari Mabes Polri dan Polda Metro Jaya yang menangani kasus tersebut," ujar Kadiv Humas Polri Inspektur Jenderal Polisi Argo Yuwono di Kantor Bareskrim Polri, Jakarta, Senin (16/11).
Mabes Polri memiliki alasan tersendiri terkait dua kasus kerumunan massa HRS dan Gibran. Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Polisi Awi Setiyono menyatakan, dua kasus kerumunan massa di Petamburan, Jakarta dan Solo merupakan kasus yang berbeda.
"Jangan samakan kasusnya. (di Solo) itu urusan Pilkada, di sana ada pengawasnya (Bawaslu)," tegas Awi dalam konferensi pers di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Rabu (18/11).
Oleh karena itu, Awi meminta agar semuanya bisa membedakan dua peristiwa kerumunan tersebut. Ia menegaskan, Pilkada secara konstitusional sudah diatur dalam perundangan-undangan.
Termasuk, turunan-turunannya sampai dengan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) telah disusun sedemikian rupa. Bahkan, maklumat terakhir Kapolri Jenderal Polisi Idham Azis pun terkait dengan Pilkada.
"Peraturan perundang-undangan sudah mengatur semuanya, penyelenggara pun sudah diatur sedemikian rupa dan ini amanat undang-undang. Jangan disamakan dengan alasan-alasan yang tidak jelas," tutur Awi.
Kendati demikian, lanjut Awi, sesuai dengan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 6 tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian Covid-19, Polri bersama TNI, pemerintah daerah serta stakeholder lainnya melakukan patroli bersama. Juga melakukan pengawasan, menertibkan.
"Tadi bilang kalau ada kerumunan tentunya dibubarkan, itu namanya menertibkan, termasuk sekarang kita melakukan operasi yustisi itu salah satu amanat Inpres 06 tahun 2020 dan terakhir penegakan hukum," terang Awi.
Pakar hukum tata negara Refly Harun, dalam sebuah acara Kabar Petang TVOne, Jumat sore menyampaikan, persoalan ini harus dikembalikan ke substantif menyangkut kondisi darurat kesehatan masyarakat. Sehingga, menurutnya, dalam perspektif hukum tata negara tak ada bedanya kerumunan di acara HRS dengan pilkada karena sama-sama dalam kondisi darurat kesehatan.
"Jadi, kalau kita dalam perspektif darurat bencana nasional maka sebenarnya tidak beda antara kerumunan HRS dengan kerumunan pilkada. Karena dua-duanya adalah kerumunan yang bisa berpotensi untuk melanggar kedaruratan kesehatan masyarakat, Dan tentu saja dalam perspektif kesehatan kan sama berbahayanya," kata Refly.