REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan menjelaskan alasan partainya mendorong agar Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) tak direvisi. UU yang ada saat ini relatif masih sangat baru dan baru diterapkan secara formal dalam kurun waktu empat sampai lima tahun terakhir.
"Sejauh ini penyelenggaraan pemilu yang dilakukan dengan undang-undang ini berjalan cukup baik," ujar Zulkifli di Ruang Fraksi PAN DPR, Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (25/1).
Zulkifli mengatakan, PAN menghormati usulan berbagai pihak yang ingin merevisi Undang-Undang . Namun, ia menilai, UU Pemilu yang ada saat ini masih sesuai dengan kondisi politik saat ini.
Apalagi, ia mengatakan, proses dalam merevisi undang-undang memakan proses yang lama dan perlu menampung aspirasi dari banyak pihak. "Termasuk kepentingan partai politik, pemerintah, pusat, dan daerah, penyelenggara pemilu, masyarakat, dan civil society. Padahal mengubah undang-undang yang ada, tidak ada jaminan akan lebih baik dari yang ada saat," ujar Zulkifli.
Untuk saat ini, ia mendorong semua pihak untuk memprioritaskan penanganan pandemi Covid-19. Serta menyatukan masyarakat Indonesia yang saat ini terbelah karena pemilihan presiden (Pilpres) 2019.
"Kita harus meyakini bahwa persaudaraan kebangsaan adalah modal utama kita dalam membangun bangsa Indonesia ke depan," ujar wakil ketua MPR itu.
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai, pembahasan revisi Undang-Undang tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) harus segera dilaksanakan. Peneliti Perludem, Heroik Pratama, menilai, pembahasan revisi UU Pemilu mendesak dilakukan untuk menyelesaikan ketidakharmonisan tiga penyelenggara pemilu.
Menurut dia, tiga lembaga penyelenggara pemilu, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) saat ini dalam kondisi yang tidak harmonis. "Ada tiga penyelenggara pemilu yang hari ini misalnya tidak harmonis, yang seharusnya lebih mengedepankan bagaimana mendorong proses pemilu yang berkualitas, demokratis, dan berintegritas, tetapi mereka sibuk antarlembaga penyelenggaranya sendiri," ujar Heroik.
Anggota Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini, menilai, RUU Pemilu belum tegas dan jelas mengatur batasan kewenangan penyelenggara pemilihan. Menurut dia, batasan kewenangan ini penting untuk menghindari kisruh antarpenyelenggara. Kerangka dan batasan waktu suatu kewenangan itu bisa dieksekusi dan perlu diatur secara lebih komprehensif.
Titi menuturkan, hal ini penting untuk menghindari adanya kisruh akibat pembatalan pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak oleh Bawaslu, setelah hasil perolehan suara pilkada ditetapkan KPU. Selain itu, kata dia, kewenangan DKPP juga semestinya harus dibatasi agar tidak absolut. "Proporsionalitas kewenangan dan relasi yang sehat adalah tantangan yang harus diciptakan oleh RUU Pemilu ini," ujar Titi.