REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Prof Siti Zuhro, menilai kongres luar biasa (KLB) Partai Demokrat di Deli Serdang, Sumatra Utara, tidak lazim. KLB Demokrat dipandang tidak etis dan tidak bermoral.
"Tidak lazim karena tidak mengikuti Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART)," kata dia pada diskusi virtual yang dipantau di Jakarta, Sabtu (6/3). Bahkan, ketua umum yang dimunculkan dan terpilih yakni Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko bukan kader partai berlambang mercy tersebut.
Kondisi itu akan membingungkan dunia politik, demokrasi, kelompok intelektual dan pihak-pihak yang belajar demokrasi. Jika dilihat dari perspektif demokrasi, KLB Demokrat yang digelar di salah satu hotel di Sumatra Utara tersebut memprihatinkan karena melanggar kaidah sebagaimana yang tercantum dalam AD/ART Partai Demokrat.
"KLB telah menafikan etika dan norma serta menjungkirbalikkan peraturan partai," katanya. Akibatnya, masyarakat dibuat semakin bingung dengan adanya atraksi politik KLB Demokrat.
Lebih miris lagi, Siti menilai kondisi tersebut mencerminkan para elite hanya bersaing dan berpikir untuk 2024 saja. Padahal, saat bersamaan masyarakat yang dibuat bingung tadi sedang kesusahan menghadapi pandemi Covid-19.
Akibatnya, perhatian publik juga tertuju ke KLB Demokrat tersebut. "Ini sebenarnya menguras energi publik, dan sebenarnya publik sudah jengah dengan masalah-masalah seperti ini," kata Siti.
Siti juga heran kenapa masih ada anak bangsa yang terperangkap dengan nilai-nilai yang tidak sesuai dengan kebudayaan Indonesia sehingga muncul kudeta dan sebagainya. Padahal, Presiden telah menyerukan agar semua elemen masyarakat untuk bersatu padu.
Pada dasarnya dualisme atau kisruh di dalam tubuh partai politik hanya melibatkan langsung kader atau internal partai saja. Namun, ada yang berbeda dengan kejadian Demokrat karena Moeldoko yang bukan kader partai muncul ke permukaan secara terang-terangan.
Menurut Siti hal tersebut terjadi karena etika dan moral politik sudah tidak ada. Padahal, posisi etika berada di atas hukum.