REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kuasa hukum Habib Rizieq Shihab (HRS), Aziz Yanuar mengeluhkan kendala teknis yang terjadi pada saat sidang perdana kliennya yang digelar secara daring, Selasa (16/3). Karena itu, kuasa hukum meminta majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur mempertimbangkan menghadirkan HRS dalam persidangan Jumat (19/3) mendatang.
"Suara enggak kedengaran dan visual kurang baik. Sehingga kami tetap konsisten sebagaimana surat yang kami layangkan sebelumnya ke MA, KY, dan majelis hakim supaya terdakwa dihadirkan di muka persidangan," ujar Aziz di Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, Selasa (13/3).
Aziz menjelaskan dengan dihadirkan HRS secara langsung di persidangan diharapkan insiden kendala teknis yang terjadi tidak terulang lagi. Dalam sidang perdana tersebut, HRS mengikuti sidang dari Rutan Bareskrim Polri, sementara majelis hakim berada di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. HRS disidang atas kasus pelanggaran protokol kesehatan.
Selain agar tidak terjadi lagi gangguan teknis yang tidak perlu, menurut Azi kehadiran fisik di persidangan adalah cara kliennya mencari keadilan dan majelis hakim sudah setuju. Sehingga pihaknya tetap akan mengupayaka agar kliennya dapat mengikuti persidangan dengan kehadiran fisik bukan virtual. Sekalipun nantinya, pihak Bareskrim Polri dan PN Jakarta Timur bisa mengatasi kendala teknis tersebut.
"Kami tetap minta untuk dihadirkan, karena tadi, pasti tidak akan maksimal. Psikologis dan juga ada beberapa yang pasti tidak terdengar langsung, akan berbeda ketika yang bersangkutan dihadirkan langsung," ungkapnya.
Sebelumnya, tokoh Front Pembela Islam (FPI) itu terjerat tiga kasus sekaligus. Dalam kasus kerumunan massa di Petamburan, Jakarta Pusat, HRS ditetapkan sebagai tersangka pada 14 November 2020 lalu. HRS diduga melanggar Pasal 160 KUHP. Kemudian pada bulan Desember 2020, HRS juga ditetap sebagai tersangka kerumunan massa di Megamendung, Kabupaten Bogor.
Dari kedua kasus tersebut, HRS dijerat dengan Pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, Pasal 93 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, dan Pasal 216 KUHP.
Selanjutnya kasus terakhir, RS Ummi Bogor berawal saat HRS dirawat di RS Ummi dan melakukan tes usap pada 27 November 2020. Namun HRS melakukan tes usap bukan dengan pihak rumah sakit, melainkan lembaga Mer-C. Kemudian Satgas Covid-19 Kota Bogor melaporkan RS Ummi kepada pihak berwajib, karena dianggap menghalang-halangi tugas Satgas Covid-19.
Kemudian HRS bersama menantunya, Hanif Alatas, dan Direktur Utama RS Ummi Bogor Andi Tatat ditetapkan sebagai tersangka pada 11 Januari 2021. Para tersangka dikenakan pasal berlapis, yaitu, Pasal 14 Ayat 1 dan 2 UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit. Hasil dalam lidik, sidik, konstruksi pasal ditambahkan Pasal 216 KUHP, Pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.