Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Tjahjo Kumolo menyesalkan masih adanya praktik jual beli jabatan. Pernyataan Tjahjo ini merujuk pada kasus yang menjerat Bupati Probolinggi Puput Tantriana Sari.
"Saya sesalkan hal itu terjadi. Padahal telah ada lembaga yang khusus mengawasi pengisian jabatan di instansi pemerintah yakni Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN)," kata Tjahjo dalam keterangan pers, Rabu (1/9).
Tjahjo mengingatkan konsekuensi dari ASN yang terlibat kasus tindak pidana korupsi. Salah satunya akibat dari kasus jual beli jabatan, adalah sanksi pemberhentian tidak dengan hormat sebagai ASN jika putusan pengadilan telah inkracht.
"Pemberhentian tidak dengan hormat bisa dijadikan sanksi kepada mereka," sebut Tjahjo.
Selain itu, Tjahjo menilai bahwa sistem pengisian jabatan di luar jabatan pimpinan tinggi (JPT) perlu dibenahi. Menurutnya, perlu adanya penguatan pengawasan yang dapat meminimalisir hal tersebut.
"Salah satunya dilakukan melalui manajemen talenta sehingga mereka yang bertalenta yang dapat menduduki jabatan tertentu," ujar Tjahjo.
Pengamat politik dari Universitas Trunojoyo Madura, Surokim Abdus Salam menanggapi terkait masih maraknya fenomena jual beli jabatan di daerah, khususnya Jawa Timur. Sepanjang 2021, KPK menangkap Bupati Nganjuk dan Probolinggo yang tersandung tindak pidana korupsi berupa jual beli jabatan kepala dan perangkat desa.
Surokim membeberkan, jual beli jabatan memang salah satu godaan yang kerap mengiming-imingi kepala daerah. Apalagi kesadaran pejabat publik untuk mengabdi masih cukup rendah.
"Belum ada kesadaran ke arah itu untuk menjaga ruang pengabdian publik dan masih mudah untuk tergoda dengan jual beli kekuasaan," ujarnya, Selasa (31/8).
Surokim menilai, kesadaran pejabat publik untuk bersikap mulia dan menjaga kehormatan atas amanah jabatan masih minimalis dan lips service. Mayoritas belum sampai pada tahap aksi untuk bisa memuliakan dan menjaga kehormatan jabatan. Sehingga masih mudah tergoda menggunakan jabatan untuk memperkaya materi.
"Situasi ini jelas menyedihkan kita semua bahwa etika jabatan masih belum terinternalisasi dalam sanubari pejabat publik kita. Situasi ini menunjukkan bahwa pejabat publik kita masih banyak yang belum bisa lulus ujian kehortamatan sehingga jebol lah pertahanan untuk memuliakan dan menjaga kehormatan jabatan," ujarnya.
Surokim juga menyoroti destinasi politik di Probolinggo, yang menurutnya sudah terlalu lama. Bupati Probolinggo, Puput Tantrian Sari sudah memasuki jabatan periode kedua. Dia meneruskan jejak suaminya Hasan Aminuddin yang sebelumnya merupakan Bupati Probolinggo dua periode.
"Sehingga bisa menjadi kuasa absolut tadi jadi mudah corrupt, tidak lagi ada pertahanan seolah-olah publik tidak akan mengawasinya karena kekuasaan yang sangat-sangat besar absolut tadi," kata dia.
Surokim menurutkan, penting bagi publik juga menyadari bahwa kekuasaan itu patut dibatasi. Artinya, tidak boleh dibuat turun temurun kendati itu absah melalui pemilu. Sebab, politik dinasti berpotensi memelihara politik kroni dan akan melemahkan fungsi kontrol dan keseimbangan.
"Dan kekuasaan cenderung menjadi transaksional dan dilakukan dengan sesukanya ugal-ugalan seolah publik tidak ada," kata dia.