REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi Pasal 167 ayat 3 dan Pasal 347 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu terkait keserentakan pemungutan suara pemilu. Para pemohon gugatan ini pada dasarnya ingin pemilihan presiden/wakil presiden, anggota DPR RI, serta anggota DPD RI tidak dibarengi dengan pemilihan anggota DPRD provinsi maupun kabupaten/kota karena alasan beban kerja penyelenggara pemilu yang berat.
"Mengadili, dalam provisi, menolak permohonan provisi para pemohon, dalam pokok permohonan, menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua MK RI Anwar Usman dalam sidang pengucapan putusan perkara nomor 16/PUU-XIX/2021, Rabu (24/11).
MK berpandangan, beban kerja yang berat, tidak rasional, dan tidak manusiawi sebagaimana didalilkan para pemohon sangat berkaitan dengan manajemen pemilu yang merupakan bagian dari implementasi norma. MK menilai, hal tersebut berkaitan dengan teknis dan manajemen atau tata kelola pemilu yang menjadi faktor penting kesuksesan penyelenggaraan pemilu serentak.
Menurut MK, apa pun pilihan model keserentakan yang dipilih oleh pembentuk undang-undang, yakni pemerintah dan DPR, sangat tergantung pada manajemen pemilu yang didesain penyelenggara pemilu. Tentu dengan dukungan penuh dari pembentuk undang-undang beserta pemangku terkait.
MK menyatakan tidak memiliki kewenangan menentukan pilihan model pemilu serentak. Penentuan model pemilu serentak merupakan wewenang pembentuk undang-undang.
Secara teknis, pembentuk undang-undang dan penyelenggara pemilu memiliki kesempatan melakukan evaluasi dan kajian secara berkala terhadap pelaksanaan teknis keserentakan pemilu. Sehingga masalah-masalah teknis yang berkaitan dengan petugas pemilu ad hoc dapat diminimalisasi dan diantisipasi.
Misalnya, pembentuk undang-undang dan penyelenggara pemilu dapat saja menyepakati adanya jeda waktu antara pemilihan anggota DPRD provinsi dan anggota DPRD kabupaten/kota dengan pemilihan anggota DPR, anggota DPD serta pemilihan presiden/wakil presiden. Atau desain teknis lainnya yang dapat mengurangi beban petugas penyelenggara pemiliu ad hoc sebagaimana yang didalilkan oleh para pemohon.
Pembentuk undang-undang dapat mengacu pada putusan MK nomor 55/PUU-XVII/2019 mengenai enam opsi pilihan model pemilu serentak. Sepanjang pemilu serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden tetap dijaga sesuai sistem pemerintahan presidensial yang dianut Indonesia.
Hakim MK Saldi Isra mengatakan, hal penting dalam penyelenggaraan pemilu serentak adalah tetap terjaminnya penerapan asas dan prinsip penyelenggaraan pemilu sebagaimana ketentuan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945. Penentuan pilihan model keserentakan, baik pemilu lima kotak atau dengan memisahkan antara pemilu nasional dan lokal merupakan wilayah pembentuk undang-undang untuk memutuskannya dengan berbagai pertimbangan dan batasan konstitusional.
"Berkenaan dengan hal tersebut, dengan telah semakin dekatnya pelaksanaan tahapan pemilihan umum serentak 2024 maka melalui putusan ini, Mahkamah menegaskan agar pembentuk undang-undang dan penyelenggara pemilihan umum segera menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi a quo," kata Saldi.
Perkara ini diajukan empat anggota kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) pada Pemilu 2019 lalu. Mereka menyebut beban kerja penyelenggara pemilu ad hoc pada pemilu serentak yang lalu dengan lima kotak sekaligus sangat berat.