REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Perubahan Permenaker nomor 2 tahun 2022 tentang pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) mendapat beragam respon dari berbagai pihak, terutama serikat-serikat pekerja atau buruh. Bahkan ada yang membuat petisi untuk menolak aturan ini, utamanya karena jaminan hanya bisa diambil saat pekerja berusia 56 tahun.
Menanggapi ini, Sekretaris Eksekutif Labor Institute Indonesia, Andy William Sinaga menjelaskan, perubahan Permenaker ini sebenarnya sudah sesuai secara yuridis. Menaker dikatakan sudah mengikuti Undang-undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Peraturan Pemerintah (PP) 46 tahun 2015 tentang penyelenggaran program Jaminan Hari Tua.
"Secara yuridis Permenaker 2 tahun 2022 sudah sesuai dengan Pasal 35 dan 37 UU SJSN junto PP nomor 46 tahun 2015. Jadi kalau serikat pekerja tidak setuju, uji materi dulu UU nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional ke Mahkamah Konstitusi (MK),"jelasnya, Ahad (13/2/2022).
"Menurut Labor Institute Indonesia, dari sisi UU SJSN tersebut Menaker sudah benar mengikuti UU SJSN dan PP 46 tahun 2015 Tentang Penyelenggaran Program Jaminan Hari Tua," tambahnya.
Pertimbangan lain, kata dia, secara sosiologis aturan baru ini didukung banyak pihak. Andy menyebut mendapat informasi bahwa banyak pimpinan serikat buruh dalam Forum Tripartit Nasional menyatakan setuju mengembalikan pencairan JHT sesuai UU SJSN.
Dia juga menimbang, secara filosofis Permenaker nomor 2 tahun 2022 ini ingin memastikan pekerja yang memasuki usia pensiun memiliki tabungan, sehingga tidak jatuh miskin di masa tua. "Artinya ketika kawan pekerja sudah tidak produktif lagi, dan memasuki usia pensiun dapat menikmati Jaminan Hari Tua," katanya.
Secara ekonomis, uang buruh di JHT dikatakannya juga diinvestasikan dengan imbal hasil lebih tinggi dari imbal hasil deposito biasa. Sehingga pekerja tidak harus takut kehilangan uang, karena sesuai UU BPJS, uang buruh dijamin APBN.
Meski begitu, Andy menekankan pentingnya sosialisasi yang lebih masif kepada masyarakat terkait instrumen Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Prosesnya juga diharapkan lebih mudah dan tanpa birokrasi yang berbelit.
"Mekanisme pekerja dalam mendapatkan JKP ini harus lebih dipermudah, kalau memang BPJS Ketenagakerjaan sebagai pengelola JKP ini, BPJS Ketenagakerjaan perlu membenahi birokrasi dalam mendapatkan JKP tersebut, agar tidak perlu berbelit-belit," ujarnya.
View this post on Instagram