REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel menanggapi terkait keputusan majelis hakim pengadilan negeri Bandung yang membebankan ke Kementerian PPPA terhadap ganti rugi terhadap 12 korban pemerkosaan Herry Wirawan. Menurutnya, restitusi tersebut tidak dibayar oleh negara.
"Restitusi tidak dibayar oleh negara. Istilah restitusi dipakai untuk ganti rugi dari pelaku langsung ke korban kejahatan. Dalam hal ini adalah kejahatan seksual terhadap anak," katanya kepada Republika, Jumat (18/2/2022).
Kemudian, ia melanjutkan walaupun tidak dibayar oleh negara bukan berarti negara bisa berlepas tangan begitu saja ketika terjadi peristiwa kejahatan. Sekian banyak negara sudah mengadakan crime victim fund sebagai bentuk ganti rugi dari negara bagi korban.
Ia menjelaskan dalam kebijakan Amerika Serikat terdapat besaran yang fantastis mencapai lebih dari 800 milyar dolar per tahun yang didepositkan ke rekening Federal Crime Victim Fund. Dalam hal ini, Indonesia patut meniru hal tersebut.
"Nah, untuk membedakannya dengan restitusi, ganti rugi dari negara disebut sebagai kompensasi. Jadi, pada sisi pemakaian istilah, Majelis Hakim perkara Herry Wirawan memang rancu," kata dia.
Terkait kompensasi sendiri, pemerintah mungkin akan protes. Ibaratnya yang melakukan kejahatan kan Herry tapi mengapa ganti rugi korban malah diembankan ke pemerintahan Jokowi.
"Apa urusannya? apa relevansinya? jawabannya pemerintah dibebani kewajiban membayar ganti rugi kepada korban karena pemerintah dianggap telah gagal melindungi warga negaranya dari aksi kejahatan," kata dia.
Jadi, kompensasi dapat dimaknai sebagai hukuman atas kelalaian pemerintah dalam menciptakan ruang hidup yang aman tentram bagi masyarakat. Pada sisi itulah Majelis Hakim PN Bandung memperlihatkan keluhurannya.
"Walau kurang tepat dalam penggunaan istilah, tapi ada panggilan kepada negara (dalam hal ini pemerintah) dari Majelis Hakim agar juga hadir di ruang sidang dan ikut bertanggung jawab. Substansi itulah yang patut ditangkap dibalik angka Rp 331.527.186,00," kata dia.
Ia menambahkan dari mana pemerintah bisa mendapat uang untuk membayar ganti rugi. "Kalau kepepet, ya cari utang lagi. Demi para korban apalagi anak-anak menambah utang kali ini bolehlah didukung," kata dia.
Sebelumnya diketahui, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) keberatan dengan putusan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Bandung yang memerintahkan pemerintah membayar biaya restitusi korban Herry Wirawan sebesar Rp 331 juta.
Karena itu, KPPPA mendorong jaksa penuntut umum pada Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat melakukan upaya banding terhadap putusan hakim PN Bandung dalam perkara Herry Wirawan.
Deputi Perlindungan Khusus Anak KPPA Nahar mengatakan, jaksa dapat menyusun memori banding menggunakan UU 17 tahun 2016 yang mengatur aturan tambahan untuk pelaku persetubuhan terhadap anak. Ia menjelaskan, hakim membebaskan Herry Wirawan dari hukuman membayar restitusi karena ia dihukum seumur hidup.
Ia menambahkan, hakim merujuk pada Pasal 67 KUHP yang menyebutkan terdakwa divonis seumur hidup tidak boleh dijatuhkan pidana lain, kecuali pencabutan hak-hak tertentu dan pengumuman majelis hakim.
Namun, ia mengatakan, UU 17 tahun 2016 memungkinkan pelaku persetubuhan anak mendapatkan hukuman maksimal berupa pidana mati dan hukuman tambahan, tindakan kebiri kimia, dan rehabilitasi.