REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Edwin Partogi Pasaribu mendesak agar Majelis Hakim mengabulkan banding atas pembayaran restitusi atau ganti rugi korban pelecehan seksual Herry Wirawan. Ia menyarankan penyitaan aset Herry guna melunasi restitusi tersebut.
Edwin tak sepakat dengan vonis hakim yang menyebut restitusi korban kasus Herry justru dibebankan kepada Negara. Menurutnya, hakim tak tepat membebankan pidana tambahan berupa restitusi kepada Negara.
"Restitusi itu merupakan ganti rugi yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga. Tapi PP nomor 43 tahun 2017 menyebutkan tidak dikenal pihak ketiga," kata Edwin dalam diskusi yang diadakan LPSK, Rabu (23/2/2022).
Edwin menyatakan Negara bukanlah pihak ketiga dalam perkara ini. Ia menekankan Negara tidak ada hubungan dengan perbuatan pidana yang dilakukan Herry.
"Pihak ketiga haruslah pihak yang jelas hubungan hukumnya dengan pelaku. Misalnya keluarga dan Yayasan dari pelaku," ujar Edwin.
Edwin juga tak sependapat mengenai argumentasi hakim bahwa tugas Negara adalah melindungi dan menyejahterakan warganya. Sehingga atas argumentasi itu hakim membebankan restitusi kepada Negara. Padahal ia mengungkapkan Negara sudah hadir dalam membantu korban kasus Herry.
"Sebenarnya tidak bisa hanya dilihat dalam konteks pembayaran restitusi. Negara sudah hadir melalui LPSK dengan program perlindungannya, dinas UPT PPA Jabar," ucap Edwin.
Atas dasar inilah, Edwin menilai pembayaran restitusi mestinya bisa dilakukan lewat penyitaan berbagai aset yang dimiliki Herry. Patut diketahui, Herry memiliki yayasan Manarul Huda yang menaungi rumah tahfidz Madani, Madani Boarding School hingga rumah yatim.
"Pembayaran restitusi dapat dibebankan dari aset yayasan yang dipunyai pelaku. Yayasan seharusnya dibubarkan lebih dahulu, asetnya disita dan dijual untuk pembayaran restitusi yang menjadi vonis pengadilan," ujar Edwin.
Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Bandung pada 15 Februari 2022 memvonis Herry Wirawan dengan hukuman penjara seumur hidup dalam kasus perkosaan 13 santri.
Hakim juga memberi putusan restitusi terhadap korban yang mesti dibayarkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) selaku perwakilan Negara dalam kesejahteraan dan perlindungan anak.
Dalam kasus ini, Herry Wirawan terbukti bersalah berdasarkan Pasal 81 ayat (1), ayat (3), dan (5) jo Pasal 76.D UU RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juncto Pasal 65 ayat (1) KUHP sebagaimana dakwaan pertama.