REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Ferdinand "Bongbong" Marcos Jr berusia 28 tahun ketika sebuah helikopter membawa keluarganya dari istana kepresidenan Filipina. Saat itu jutaan pengunjuk rasa menuntut penggulingan ayahnya dalam revolusi People Power yang bersejarah.
Lebih dari 36 tahun kemudian, Marcos merayakan kemenangan telak dalam pemilihan presiden pada Senin (9/5/2022). Keberhasilannya mendapatkan kursi presiden Filipina menjadi kebangkitan luar biasa bagi sebuah keluarga yang pernah terkenal karena pelanggaran hak asasi manusia yang meluas dan penjarahan sekitar 10 miliar dolar AS.
Laporan dari CNN, menurut penghitungan parsial dan tidak resmi dari Komisi Pemilihan Umum (Comelec), lebih dari 95 persen suara dihitung dan Marcos mendapatkan sekitar 30 juta suara. Jumlah ini lebih dari dua kali lipat saingan terdekatnya, Wakil Presiden Leni Robredo yang memiliki sekitar 14 juta suara. Hasil tersebut membuat beberapa aktivis People Power sedih dan bingung.
"Kami mengatakan pada 1986, 'Jangan lagi'. Bagaimana mereka bisa kembali?" kata Florencio Abad yang termasuk di antara jutaan pengunjuk rasa yang memadati jalan-jalan Manila saat itu dan kemudian menjadi anggota kabinet.
Keluarga Marcos telah melakukan kampanye selama puluhan tahun untuk membangkitkan kembali reputasinya. Terlebih lagi dengan menggandeng putri Presiden Rodrigo Duterte membantu mendorong kembalinya mereka ke kursi kepresidenan. Sara Duterte-Carpio memiliki keunggulan yang tidak dapat diatasi dalam pemilihan wakil presiden oleh calon lainnya.
Keluarga Marcos diizinkan untuk kembali ke Filipina pada 1991 oleh Presiden Corazon Aquino. Pembunuhan suami Aquino pada 1983 membantu memicu gerakan People Power yang akhirnya menggulingkan Marcos yang lebih tua setelah 20 tahun berkuasa.
Menurut peneliti di University of Sydney David Chaikin, membiarkan keluarga itu kembali dari pengasingan setelah senior Marcos meninggal adalah tindakan kemurahan hati yang luar biasa. "Ini adalah awal dari keluarga Marcos mencakar jalan mereka menuju kekuasaan," katanya.