REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti menyebutkan Pasal 415 yang mengatur tentang perzinaan dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) berpotensi menimbulkan persekusi di tengah masyarakat. Sebab, masyarakat hidup tidak hanya berpedoman pada norma hukum, tetapi juga norma agama, sosial, dan kesusilaan, termasuk cara berperilaku.
"Sangat berpotensi menciptakan persekusi," kata Bivitri di Jakarta, Selasa (12/7/2022).
Norma hukum, terutama hukuman pidana yang mengatur tentang ancaman badan (pemenjaraan), dan denda harus diperlakukan ultimum remedium atau cara paling akhir dalam penegakan hukum. "Artinya, apabila semua cara telah dilakukan tidak bisa, barulah sanksi pidana diterapkan," katanya.
Menurut dia, tidak semua yang tak disukai lantas dibuatkan pasal-pasal agar bisa menjerat masyarakat dengan tujuan seseorang tidak melakukannya. Norma hukum pidana harus melihat perilaku itu mengganggu ketertiban umum atau tidak.
Ia menilai kohabitasi dan lain sebagainya lebih mengarah pada ranah hukum privat, bukan hukum publik. Selain itu, wilayah hukum privat juga tidak bisa begitu saja dipindahkan ke hukum publik karena berpotensi terjadi kesalahan dalam penghukuman.
Yang menjadi masalah, kata dia, peraturan tentang zina bisa menimbulkan asumsi pada sebagian orang bahwa menyerang pelaku zina boleh karena mereka dinilai melanggar hukum. Padahal, jika dicermati lebih detail, dalam RKUHP pasal perzinaan bersifat delik aduan atau hanya bisa dilaporkan oleh orang-orang tertentu.
"Bahkan, tanpa KUHP saja persekusi juga sudah terjadi," ujarnya.
Bivitri menegaskan, pandangannya tersebut sama sekali bukan untuk mendukung atau melegalkan zina atau seks bebas. Ia mengaku mengkritisi penyelesaian perbuatan yang tidak pantas melalui jalur pidana, padahal masih banyak cara lain. "Jika tetap dipaksakan, akan banyak efek negatif, misalnya persekusi," kata dia.