REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi Pendataan, Kajian, dan Ratifikasi Pers Dewan Pers Ninik Rahayu mengatakan, rancangan Kitab Hukum Undang-Undang Pidana (RKUHP) harus berpotensi memberangus kebebasan pers, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Setidaknya, ada sembilan pasal yang berpotensi yang didesak untuk direvisi atau diubah.
Pertama adalah Pasal 188 tentang Tindak Pidana terhadap Ideologi Negara. Kedua, Pasal 218-220 tentang Tindak Pidana Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden.
"Yang ini kita semua tahu ini sudah dicabut oleh putusan Mahkamah Konstitusi," ujar Ninik di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (19/7/2022).
Ketiga, Pasal 240 dan 241 Tindak Pidana Penghinaan Pemerintah yang Sah, serta Pasal 246 dan 248 (penghasutan untuk melawan penguasa umum). Selanjutnya, Pasal 263 dan 264 Tindak Pidana Penyiaran atau Penyebarluasan Berita atau Pemberitahuan Bohong.
Lalu, Pasal 280 Tindak Pidana Gangguan dan Penyesatan Proses Peradilan. Keenam, Pasal 302-304 Tindak Pidana terhadap Agama dan Kepercayaan. Ketujuh, Pasal 351-352 Tindak Pidana terhadap Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara.
"Delapan, Pasal 440 Tindak Pidana Penghinaan Pencemaran Nama Baik. Sembilan, Pasal 437, 443 Tindak Pidana Pencemaran," ujar Ninik.
Rencananya, Dewan Pers akan bertemu dengan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) untuk membahas RKUHP. Ia juga meminta bantuan pihak media untuk terus mengkritisi pasal-pasal tersebut.
"Kita bersama mengawal perubahan atas undang-undang KUHP ini dengan harapan tetap berpijak pada prinsip-prinsip keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum," ujar Ninik.