REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan bahwa koordinasi antaraparat penegak hukum (APH) dalam penanganan perkara belum optimal. Khususnya terkait pertukaran informasi dan data lintas APH.
"Hal ini menjadi sangat relevan terkait dengan titik rawan korupsi pada pengurusan perkara ini. Karena jika data tersebut dapat diakses anta- APH, tentu akan mengurangi potensi risiko korupsi, karena bisa saling mengawasi," kata Juru Bicara Bidang Penindakan KPK, Ali Fikri di Jakarta, Rabu (28/9/2022).
Ali mengatakan, pihaknya juga mengidentifikasi lemahnya independensi, pengawasan dan pengendalian internal. Menurut dia, hakim agung nonaktif Sudrajad Dimyati yang tertangkap dalam dugaan suap harusnya menjadi alarm bagi intistusi pengawas peradilan untuk memastikan proses-proses peradilan bisa betul-betul memedomani prinsip-prinsip hukum dan konstitusi.
Selain itu, tantangan pada era teknologi informasi juga masih belum tertangani dengan baik. Kehadiran teknologi informasi dirasa belum dimanfaatkan secara baik untuk menciptakan proses penanganan perkara yang cepat dan transparan.
Oleh karena itu, KPK mendorong penguatan sistem penanganan perkara tindak pidana yang terintegrasi melalui Sistem Database Penanganan Perkara Tindak Pidana Secara Terpadu Berbasis Teknologi Informasi (SPPT-TI). "Dalam rangka membangun sistem Informasi penanganan perkara pidana yang terintegrasi, transparan, mendorong pertukaran dan pemanfaatan data perkara secara elektronik antar lembaga penegak hukum," ujarnya.
Adapun beberapa kementerian dan lembaga yang berperan sebagai pelaksana SPPT-TI ini. Antara lain, Kemenkopolhukam, Kemenkominfo, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Kemenkumham, Kepolisian, Kejaksaan, Mahkamah Agung, dan KPK.
"Sehingga, diharapkan mewujudkan penegakan hukum di Indonesia yang berkualitas dan selaras dengan tujuan pembangunan nasional," tutur Ali.