REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi II DPR RI, Dian Istiqomah, berharap Komisi II bersama Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) dapat menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang terkait tenaga honorer ini dengan baik meskipun membutuhkan waktu yang panjang. Dia berharap, persoalan tersebut dapat selesai pada 2023 mendatang.
"Saya berharap, Pak menteri punya kebijakasanaan dan bisa berdiskusi lagi dengan Komisi II. Kita buat kebijaksanaan yang bisa membantu para masyarakat yang sudah masuk sebagai tenaga honorer. Walaupun kita belum menyelesaikan di tahun ini, saya berharap di tahun 2023 kita bisa menyelesaikannya," tutur Dian dikutip dari laman resmi Komisi II DPR RI, Senin (31/10/2022).
Dia ingin agar merit sistem dapat diimplementasikan dalam penyelesaian tenaga honorer, khususnya untuk tenaga honorer yang telah bekerja cukup lama sampai belasan tahun. Tenaga honorer yang telah bekerja cukup lama tidak bisa disamaratakan dengan tenaga honorer yang baru bekerja.
"Dengan sistem merit kita bisa gunakan untuk yang sudah berumur. Karena kalau sekarang mereka ikut ujian disamaratakan dengan yang baru-baru, mereke pasti kalah. Jadi, dengan sistem merit kita bisa mengevaluasi kembali," jelas Dian.
Dian kemudian menyoroti tentang adanya rencana tenaga honorer yang akan outsourcing-kan. Terkait hal tersebut, Dian menyatakan kurang sepakat dengan rencana tersebut. Menurut Dian, itu hanya akan menambah biaya pengeluaran negara.
"Saya masih kurang sepakat dengan outsourcing. Pengeluaran yang pasti untuk tenaga honorer ini, kenapa harus di-outsourcing-kan? Sedangkan kalau outsourcing akan dipotong dengan administrasi dan negara akan mengeluarkan tambahan biaya lagi," kata Dian.
Jadi, menurutnya, ketika negara sudah mengeluarkan uang melalui APBN, kenapa tidak langsung ke mereka (tenaga honorer) ini? "Kan jika tidak ada potongan, berarti ada kelebihan uang yang bisa dimanfaatkan untuk menggerakan perekonomian," lanjut dia.
Sebelumnya, Anggota Komisi II DPR RI, Mardani Ali Sera, mengatakan, harus ada terobosan dan keberanian yang membuat keputusan yang win-win solution untuk menyelesaikan permasalahan tenaga honorer. Dia menyebut, penghapusan tenaga honorer itu dengan istilah gempa masal November 2023.
“Kami akan berembug bersama, memutuskan political will agar kalau saya menyebutnya, gempa masal November 2023, di mana tidak ada lagi honorer bisa kita hindari, bisa kita dapatkan win-win solution," ujar Mardani lewat keterangannya, Kamis (29/9/2022).
Mardani mengatakan, situasi yang terjadi saat ini adalah masyarakat ingin mendapatkan keadilan untuk bekerja, pemerintah daerah perlu orang untuk melayani, pemerintah pusat perlu untuk menjaga negara kesatuan republik Indonesia (NKRI) stabil. Untuk itu, menurut dia, diperlukan terobosan dan keberanian dalam membuat keputusan yang dapat menguntungkan semua pihak.
"Harus ada terobosan dan keberanian yang membuat keputusan yang win-win solution," kata dia.
Mardani optimistis, persoalan tenaga honorer dapat diselesaikan apabila semua pihak mau berendah hati dan berkolaborasi, termasuk Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dengan Kementerian PPN/Bappenas, walaupun nantinya beban terberat tetap ada di presiden. Kebijakan tidak ada honorer di tahun 2023 perlu dicermati dengan kondisi lapangan.
Pemerintah telah menghimpun data tenaga non-aparatur sipil negara (ASN) atau tenaga honorer hingga 30 September 2022. Dari pendataan tersebut, pemerintah mendapatkan data sebanyak 2.113.158 tenaga honorer yang berasal dari 66 instansi pusat dan 522 instansi daerah. Jumlah itu terdiri dari 335.639 tenaga honorer di instansi pusat dan 1.879.903 tenaga honorer dari instansi daerah.
"Jumlah instansi pemerintah yang mengikuti pendataan non-ASN sebanyak 590 instansi, meliputi 66 instansi pusat dan 524 instansi daerah," ujar Kepala Biro Humas, Hukum, dan Kerja Sama BKN, Satya Pratama lewat keterangannya, Rabu (5/10/2022).