REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyinggung komitmen Pemerintah dan Pengadilan dalam menjalankan UU UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Ia mempertanyakan keseriusan penerapan UU tersebut.
Keraguan soal penerapan UU Pengadilan HAM disampaikan oleh Wakil Ketua Komnas HAM RI Amiruddin. Amir merujuk pada beberapa Pengadilan HAM yang sudah berjalan di Indonesia, termasuk sidang kasus pelanggaran HAM berat Paniai berdarah.
"Poin saya adalah, jangan sampai pengadilan HAM Paniai ini menjadi sungsang berpikirnya," kata Amir dalam pertemuan dengan wartawan pada Kamis (10/11).
Amir menegaskan, ada konsekuensi atas ketidakseriusan dalam menindak perkara pelanggaran HAM. "Misalnya begini, pertama, mungkin kita tidak bisa serius menjalankan UU (Pengadilan HAM) ini ke depan. Kenapa, karena dulu, tahun 2000an awal, ada 3 pengadilan HAM, Tim-tim, Tanjung Priok dan Abepura, yang dulu juga dinilai banyak pengamat pengadilan dianggap tidak serius, 15 tahun berhenti ternyata tidak lebih baik jalannya (sidang Paniai)," ujar dia.
Amir mengingatkan, sidang Paniai wajib berjalan maksimal demi meningkatkan kepercayaan masyarakat di Papua. Jika tidak demikian, maka akan ada dampaknya.
"Nah, konsekuensi yang lain apa, upaya kita untuk memenangkan hati masyarakat di Papua agar percaya pada proses hukum, ini kan proses hukum nih, juga menjadi tidak maksimal," ucapnya.
Atas dasar itu, Amir masih berharap, majelis hakim dapat memeriksa kasus HAM berat Paniai secara lebih teliti, dalam dan adil. Karena, dirinya merasa memvonis tersangka yang satu ini bersalah atau tidak bersalah belum bisa mendatangkan rasa adil. "Apalagi jika vonisnya nanti keliru," ucap Amir.
Selain itu, Amir menyatakan, tetap menghormati hakim dan proses persidangan Paniai. "Tapi kita boleh dong kasih catatan sedikit, sebagai concern Komnas HAM membangun kesadaran dan empati masyarakat terhadap peristiwa seperti ini. Kalau nggak, akan berlalu begitu aja kan," kata dia.
Peristiwa Paniai Berdarah terjadi pada 8 Desember 2014 di Lapangan Karel Gobai, Enarotali, Kabupaten Paniai. Peristiwa itu terkait dengan aksi personel militer dan kepolisian saat pembubaran paksa aksi unjuk rasa dan protes masyarakat Paniai di Polsek dan Koramil Paniai pada 7-8 Desember 2014.
Aksi unjuk rasa tersebut berujung pembubaran paksa dengan menggunakan peluru tajam. Empat orang tewas dalam pembubaran paksa itu adalah Alpius Youw, Alpius Gobay, Yulian Yeimo dan Simon Degei.
Isak Sattu didakwa melanggar Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b Jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf a, Pasal 37 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM). Isak juga diancam pidana dalam Pasal 42 ayat (1) huruf a dan huruf b Jis Pasal 7 huruf b, Pasal 9 huruf h, Pasal 40 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.