REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komnas HAM mendesak Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM (PPHAM) menuntaskan kerjanya. Komnas HAM berharap Tim PPHAM turut mencantumkan hak korban Pelanggaran HAM Berat (PHB) dalam laporannya.
"Tim penyelesaian kasus HAM non yudisial untuk melaksanakan tugasnya guna mengungkap kasus-kasus PHB dan merekomendasikan pemulihan yang konkrit dan bermartabat bagi korban PHB," kata Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM, Abdul Haris Semendawai.
Semendawai menyebut kehadiran tim PPHAM penting saat ini. Tim tersebut lahir di tengah stagnasi penegakan hukum kasus pelanggaran HAM. Komnas HAM pun telah menyatakan kesediaan membantu sesuai permintaan dari tim PPHAM.
"Kami siap untuk membantu tim PPHAM sepanjang tidak menutup peluang penyelesaian PHB melalui mekanisme yudisial, tidak melanggar mekanisme pro justitia serta memastikan jaminan kerahasiaan dan keamanan para korban PHB," ujar Semendawai.
Oleh karena itu, Komnas HAM merekomendasikan pemerintah agar memperkuat dukungan terhadap proses penyelesaian pelanggaran HAM berat. Termasuk melalui mekanisme yudisial berdasarkan hasil penyelidikan Komnas HAM.
"Tentunya dengan memperhatikan berbagai aspek agar pengadilan dapat berjalan untuk mewujudkan keadilan dan pemulihan bagi korban," ucap Semendawai.
Selain itu, Semendawai mendorong penguatan pelibatan peran Kejaksaan Agung dalam penuntasan PHB bersama Komnas HAM.
"Kejaksaan Agung untuk bekerjasama dengan Komnas HAM guna menindaklanjuti hasil penyelidikan kasus PHB yang telah dilakukan Komnas HAM," sebut Semendawai.
Diketahui, Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menandatangani Keputusan Presiden (Keppres) RI Nomor 17 Tahun 2022 tentang pembentukan tim PPHAM. Keppres ini diteken pada 26 Agustus 2022 lalu. Masa kerja tim PPHAM akan berakhir pada tanggal 31 Desember 2022 jika tak diperpanjang Presiden.
Tim PPAHM ini memiliki tugas untuk melakukan pengungkapan dan upaya penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat masa lalu, berdasarkan data dan rekomendasi yang ditetapkan Komisi Nasional HAM sampai 2020. Tim PPAHM juga bertugas untuk merekomendasikan pemulihan bagi korban atau keluarganya, serta merekomendasikan langkah untuk mencegah pelanggaran HAM berat tidak kembali terulang di masa yang akan datang.
Tercatat, sedikitnya ada 13 kasus yang ditetapkan sebagai pelanggaran HAM berat oleh Komnas HAM. Yaitu Peristiwa 1965-1966, Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Talangsari 1989, Peristiwa Trisakti, Peristiwa Semanggi I dan II, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Penghilangan Orang secara Paksa 1997-1998, Peristiwa Wasior Wamena, Peristiwa Pembantaian Dukun Santet di Banyuwangi 1998, Peristiwa Simpang KAA 1999, Peristiwa Jambu Keupok 2003, Peristiwa Rumah Geudang 1989-1998, dan Kasus Paniai 2014.