Senin 26 Dec 2022 02:27 WIB

Kuasa Hukum Lin Che Wei : Tuntutan JPU tak Berdasar Fakta Persidangan

Lin Che Wei dituntut 8 tahun penjara dan denda Rp1 Miliar.

Terdakwa anggota Tim Asistensi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei (kanan)
Foto: ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat
Terdakwa anggota Tim Asistensi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Weibinanto Halimdjati alias Lin Che Wei (kanan)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim Asistensi Menko Perekonomian, Lin Che Wei dituntut 8 tahun penjara subsider 6 bulan kurungan dan denda Rp1 miliar dalam perkara dugaan korupsi persetujuan ekspor crude palm oil (CPO) dan produk turunannya. 

Kuasa hukum Lin Che Wei, Maqdir Ismail menilai tuntutan JPU tidak berdasarkan pada fakta persidangan. Berdasarkan bukti dan keterangan saksi, menurut Maqdir tidak ada perbuatan melawan hukum yang dilakukan Lin Che Wei dalam penerbitan persetujuan ekspor CPO dan turunannya. 

Baca Juga

"Terdakwa tidak punya motif untuk melakukan korupsi dalam bentuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang merugikan negara atau perekonomian negara. Motif terdakwa adalah membantu Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi yang kesulitan dan mendapat banyak tekanan akibat mahalnya harga sawit dunia, yang memengaruhi harga dan pasaran CPO maupun minyak goreng di Indonesia," kata Maqdir dalam keterangannya.

Maqdir melanjutkan kliennya tidak pernah melakukan perbuatan yang berdampak buruk bagi Kemendag maupun perbuatan melawan hukum. Ia menyebut kliennya tidak punya kewenangan dan tidak menggunakan kedudukannya sebagai Tim Asistensi Menko Bidang Perekonomian untuk bertindak seolah-olah sebagai pejabat yang mempunyai kewenangan dalam penerbitan Persetujuan Ekspor (PE) CPO. 

"Dalam bukti komunikasi melalui pesan Whatsapp dengan Dirjen Perdagangan Luar Negeri Indrasari Wisnu Wardhana, Lin Che Wei secara tegas menolak untuk dilibatkan dalam proses PE karena mudah difitnah," ujar Maqdir.

Tim kuasa hukum Lin Che Wei lainnya, Lelyana Santosa menyebutkan Lin Che Wei baru diundang secara resmi oleh eks Mendag Muhammad Lutfi untuk menjadi mitra diskusi tiga hari setelah Kemendag memberlakukan harga eceran tertinggi (HET) minyak goreng pada 11 Januari 2022. 

Menurutnya, Lin Che Wei tidak pernah mengusulkan perubahan syarat persetujuan ekspor hanya berdasarkan realisasi distribusi DMO. Sementara usulan untuk mengembalikan persyaratan PE dalam Permendag 8/2022 ke peraturan sebelumnya, yaitu Permendag 2/2022, dalam fakta persidangan terbukti berasal dari pelaku usaha. Namun, usulan tersebut tidak pernah diimplementasikan.

"Terdakwa tidak pernah merancang, mengolah dan membuat analisis realisasi komitmen (pledge) dari pelaku usaha yang tidak menggambarkan kondisi pemenuhan kewajiban DMO yang sebenarnya, sebagai dasar oleh Indra Sari Wisnu Wardhana dalam penerbitan PE CPO dan turunannya. Lin Che Wei diminta oleh Mendag untuk memperbaiki tampilan presentasi. Data yang disajikan Lin Che Wei berbeda penggunaannya. Data tersebut digunakan untuk program Darurat Migor dan tidak digunakan sebagai syarat penerbitan PE," jelas Lelyana.

Lin Che Wei, lanjutnya, diminta membantu Program Darurat Migor untuk mendistribusikan 540 juta liter dalam 1 bulan setelah 2 program operasi pasar sebelumnya gagal memenuhi target. Ia mengatakan Lin Che Wei tidak punya konflik kepentingan dalam kedudukan sebagai Tim Asistensi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian yang membantu eks Mendag Lutfi. Kontrak riset dalam rangka feasibilities study dan Covid Research dengan Wilmar Group dan Musim Mas Group telah selesai jauh sebelum timbul masalah minyak goreng. Lin Che Wei juga tidak pernah mendapatkan fee atau pembayaran terkait dengan bantuan dalam mengatasi kelangkaan minyak goreng.

Terkait dengan kerugian keuangan negara, sebagaimana diterangkan di persidangan oleh Direktur Perlindungan Korban Bencana Sosial Kementerian Sosial (Kemensos), Mira Riyati Kurniasih yang menjadi saksi, Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) minyak goreng yang diluncurkan pemerintah pada April 2022 tidak bisa dianggap sebagai kerugian negara karena bukan merupakan anggaran baru yang khusus dikeluarkan pemerintah untuk mengatasi kelangkaan minyak goreng. BLT tersebut merupakan bagian dari program pemulihan ekonomi nasional (PEN) yang dananya berasal dari APBN melalui DIPA Kemensos Tahun 2021.

"Penghitungan kerugian perekonomian negara dengan model input output (I/O) yang dilakukan oleh ahli Rimawan Pradiptyo, PhD, bukan saja tidak tepat tetapi tidak memiliki dasar hukum. Pertama, Rimawan hanya menghitung biaya tanpa memperhatikan manfaat dari kegiatan ekpor CPO, misalnya pajak ekspor dan pungutan lainnya. Kedua, Rimawan menggunakan sektor sawit sebagai input dan beberapa industri makanan sebagai output. Sementara yg dipermasalahkan adalah minyak goreng dan berdasarkan peraturan Kemendag, DMO minyak goreng tidak boleh dipergunakan oleh industri makanan," kata Maqdir. 

Selain itu, lanjutnya, Rimawan mengakui dalam persidangan bahwa input output model tidak cocok untuk menghitung industri yang bergantung pada fluktuasi harga komoditas. Apalagi Rimawan menggunakan data 2016, yang pasti situasinya berbeda dan begitu juga terkait dengan harga yang berbeda. 

"Sebagai contoh,  produk sawit dan turunannya pada tahun 2016 baru 58 jenis, tetapi pada 2022 sudah mencapai 185 jenis. Dengan fakta ini seharusnya sebagai ilmuwan yang selalu bertumpu pada kebenaran,  Rimawan tidak sepatutnya berpendapat ada kerugian perekonomian negara yang fantastis, apalagi disertai bumbu ada 'konsultan dan pejabat yang pasti mendapat keuntungan,'" tambah Lelyana.

Anggota tim kuasa hukum Lin Che Wei lainnya, Handika Honggowongso, menyebutkan sejumlah  bbukti betapa tidak akurat dan tidak tepatnya perhitungan yang dilakukan Rimawan. Salah satunya adalah Rimawan mengubah nilai kerugian perekonomian negara yang dalam BAP mencapai Rp12.312.053.298.925 (Rp12,3 triliun), menjadi Rp10.960.141.564.141,00 (Rp10,9 triliun) saat memberikan keterangan di persidangan  

Selain itu, tidak tepatnya perhitungan kerugian perekonomian negara juga disebabkan Rimawan yang menganalogikan perdagangan CPO ini sama dengan perdagangan “drugs and trafficking”, untuk mengatakan ada keuntungan ilegal dalam penerbitan PE CPO. 

"Berdasarkan keterangan saksi ahli lainnya, Lukita Dinarsyah Tuwo (ekonom dan mantan Sekretaris Menko Perekonomian, red), penyebab kelangkaan minyak goreng adalah karena penetapan HET yang tidak disertai ekosistem yang mendukung, terutama jalur distribusi migor. Keterangan sejumlah saksi juga menunjukkan kenaikan harga minyak goreng terjadi sejak pertengahan 2021, sedangkan kelangkaan baru terjadi setelah penetapan aturan HET," terang Handika. 

Ia menyebutkan, kelangkaan minyak goreng bukan disebabkan oleh produksi maupun ekspor, tetapi lebih disebabkan masalah distribusi.  Hal ini ditunjukkan dengan data ekspor CPO dan produk turunannya pada periode Januari-Maret 2022 yang turun 3,9 juta ton, yang bertentangan dengan dalil JPU bahwa pada periode itu terjadi peningkatan ekspor CPO.

Dalam sidang pembacaan tuntutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (22/12), jaksa penuntut umum (JPU) menyatakan terdakwa Lin Che Wei terbukti bersalah melanggar  melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement