REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Terdakwa Ferdy Sambo menuding adanya opini publik yang mengharuskannya untuk dihukum paling berat dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat (J). Dalam nota pembelaannya, mantan Kadiv Propam Polri itu mengatakan, bahkan terjadi penghakiman massal terhadapnya terkait ragam tuduhan yang menyudutkan nama ia gegara kasus pembunuhan di Duren Tiga 46 Jakarta Selatan (Jaksel) tersebut.
Sambo mengatakan, penggiringan opini publik untuk dirinya dihukum maksimal itu, sudah terjadi bahkan sebelum menjadi tersangka pada Agustus 2022 lalu. “Sejak awal saya ditempatkan sebagai terperiksa dalam perkara ini (pembunuhan berencana), beragam tuduhan telah disebarluaskan di media dan di masyarakat. Bahwa saya, seolah-olah adalah penjahat terbesar sepanjang sejarah manusia,” begitu kata Sambo saat membacakan pembelaannya di hadapan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Selasa (24/1).
Ketika sudah menjadi tersangka, jelas Sambo, tuduhan, opini, dan penghakiman sesat terhadap ia pun masih terus terjadi sampai saat ini. “Saya telah dituduh secara sadis melakukan penyiksaan terhadap Yoshua (Brigadir J). Begitu juga tudingan dan penghakiman terhadap saya sebagai bandar judi, bandar narkoba, melakukan perselingkuhan, sampai menikah siri dengan banyak perempuan, bahkan sampai saya dikatakan LGBT (Lesbian Gay Biseksual dan Transgender), memiliki bunker penuh uang, menempatkan uang ratusan triliun dalam rekening Yoshua. Yang kesemuanya itu adalah tidak benar,” tuturnya.
Sambo meyakinkan majelis hakim, dan publik tentang tuduhan-tuduhan tersebut membuatnya seolah-olah mahkluk paling brutal, dan penjahat nomor satu di dunia. “Dan tuduhan-tuduhan itu sengaja disebarkan untuk menggiring opini terhadap saya, menggiring opini yang menyeramkan terhadap diri saya. Sehingga hukuman paling berat harus dijatuhkan kepada saya, tanpa perlu mempertimbangkan penjelasan dari saya sebagai terdakwa.”