REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Terdakwa Ferdy Sambo mengakui kesalahannya atas pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat (J). Dalam nota pembelaannya, mantan kadiv Propam Polri itu mengaku penyesalan dari dalam dirinya yang tak pernah berhenti.
Namun dalam pledoinya, pecatan Polri bintang dua itu menegaskan, tak pernah melakukan perencanaan dalam peristiwa pembunuhan di Duren Tiga 46, Jakarta Selatan (Jaksel), Jumat (8/7/2022) itu.
“Saya bersalah. Dan menyesal. Karena amarah dan emosi, telah menutup logika berpikir saya,” kata Sambo saat membacakan nota pembelaan dalam sidang lanjutan kasus pembunuhan berencana Brigadir J yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jaksel, Selasa (24/1/2023).
Sambo menerangkan, dirinya sebagai anggota Polri dengan pangkat Inspektur Jenderal (Irjen), pada saat kejadian itu, memang tak pantas lebih mementingkan emosinya, ketimbang kejernihan berpikir, maupun bertindak. “Sungguh setiap waktu, rasa bersalah dalam diri saya tidak pernah berhenti. Penyesalan mendalam, atau timbulnya korban Yoshua,” kata Sambo.
Akan tetapi, Sambo mengatakan, peristiwa pembunuhan Brigadir J itu, tak dilakukan dengan adanya prakondisi ataupun perencanaan. Dalam nota pembelaannya, Sambo menolak pengakuan Richard Eliezer sebagai terdakwa eksekutor yang menyampaikan bahwa perencanaan pembunuhan itu sudah dilakukan di rumah Saguling III 29 beberapa saat sebelum penembakan di Duren Tiga 46.
Sambo juga menolak pengakuan Richard tentang perencanaan pembunuhan di Saguling III 29 itu dengan cara memberikan perintah menembak. Menurut Richard, Sambo sempat memberikan satu kotak amunisi peluru 9 mm untuk menembak Brigadir J. Sambo juga membantah cerita Richard tentang adanya pembicaraan dengan Putri Candrawathi tentang pengamanan CCTV dan penggunaan sarung tangan hitam adalah tak benar.
Menurut Ferdy Sambo pengakuan Richard tersebut tak dapat dibenarkan bukan cuma karena pengakuan adanya perencanaan tersebut tak dapat dibuktikan, tetapi, kesaksian Richard tersebut benar-benar dari hasil cerita yang tak pernah terjadi. “Bahwa keterangan terdakwa Richard Eliezer tersebut, adalah berdasarkan dari keterangan tunggal. Dan semua keterangan tersebut, tidak benar, tidak ada dalam fakta perisitwa, dan tidak berkeseusian dengan bukti-bukti di persidangan,” kata Sambo.
Sambo melanjutkan, emosi dirinya yang berujung pada tewasnya Brigadir J, disebabkan adanya peristiwa pemerkosaan yang dialami, Putri Candrawathi. Sambo, dalam pembelaannya, masih bertahan dengan cerita istrinya yang diperkosa oleh ajudannya itu di Magelang.
“Bahwa, sejak awal, saya tidak merencanakan pembunuhan terhadap korban Yoshua. Karena peristiwa (pembunuhan) tersebut terjadi begitu cepat dan diliputi emosi mengingat hancurnya martabat saya, juga istri saya yang telah menjadi korban pemerkosaan korban Yoshua," kata Sambo.
Di akhir nota pembelaannya, Sambo tak meminta majelis hakim membebaskan dirinya dari konsekuensi hukum atas kesalahannya tersebut. Justru Sambo meminta hakim membebankan risiko hukum atas pembunuhan Brigadir J itu kepada dirinya.
Ia mengatakan, beban hukum pembunuhan di Duren Tiga 46 itu, tak pantas dibebankan kepada terdakwa Ricky Rizal maupun Kuat Maruf, apalagi istrinya. Sebab, menurutnya, Putri tak tahu menahu tentang tindakan emosional Sambo yang berujung pada pembunuhan tersebut. Selain itu, Putri yang menurut Sambo, adalah korban dari peristiwa pembunuhan tersebut.
“Baik saya, maupun istri saya, telah didudukkan sebagai terdakwa dalam persidangan ini dan berada di dalam tahanan. Sementara empat anak-anak kami, terkhusus yang masih balita, juga punya hak dan masih membutuhkan perawatan juga perhatian dari orang tuanya,” kata Sambo.
Sambo dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir J, dituntut oleh jaksa penuntut umum (JPU) dengan tuntutan pidana penjara seumur hidup. Jaksa dalam tuntutannya, meyakinkan majelis hakim, bahwa Sambo telah melakukan pembunuhan berencana yang merampas nyawa Brigadir J.
Jaksa menguatkan sangkaan Pasal 340 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana. Tuntutan terhadap Sambo itu paling berat dari empat terdakwa lainnya. JPU juga menuntut terdakwa Richard dengan pidana penjara selama 12 tahun. Sedangkan untuk terdakwa Ricky, terdakwa Kuat Maruf, dan terdakwa Putri Candrawathi, dituntut masing-masing selama 8 tahun penjara.