REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Forum Zakat (FOZ), Bambang Suherman, menanggapi Kementerian Agama (Kemenag) yang mengeluarkan daftar 108 lembaga yang telah melakukan pengelolaan zakat tanpa izin sesuai regulasi. FOZ mengaku tidak memahami tujuan Kemenag mengeluarkan daftar 108 lembaga tersebut.
"Secara umum sebenarnya kami tidak memahami apa yang menjadi tujuan utama Kementerian Agama merilis 108 lembaga yang telah melakukan pengumpulan zakat tanpa izin sesuai regulasi," kata Bambang kepada Republika, Rabu (25/1/2023).
Bambang mengaku tidak paham maksud Kemenag, karena sebenarnya otoritas pengelolaan izin adanya di Kemenag. Jadi seharusnya Kemenag memberikan penjelasan kenapa 108 lembaga ini dinyatakan sebagai 108 lembaga yang telah melakukan pengelolaan zakat tanpa izin sesuai dengan regulasi. Sebab pekerjaan memberikan regulasi ini adalah pekerjaan Kemenag.
FOZ mencoba mengidentifikasi daftar lembaga yang dimaksud Kemenag tidak memiliki izin, FOZ menemukan ada keanehan. Di 108 lembaga itu, ada lembaga resmi, hanya saja pengajuan izinnya dilakukan dengan nama lembaga lama, Kemudian Kemenag mengeluarkan izin dengan nama lembaga yang baru.
"Ada juga di antara 108 lembaga tersebut yang sudah memiliki rekomendasi Baznas, itu berarti satu tahap administrasi selanjutnya adalah keluarnya izin dari Kementerian Agama," ujar Bambang.
Ia menambahkan, ada di antara lembaga itu yang sebenarnya sudah melakukan proses pengajuan perizinan. Ini variasinya banyak sekali, dari perspektif waktu ada yang sudah lebih dari tiga tahun melakukan pengajuan izin.
Ada yang mengajukan izin semenjak dikeluarkannya Undang-undang (UU) Nomor 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat, walau sebelumnya mereka adalah lembaga zakat yang legal. Apakah ini juga dianggap lembaga yang tidak berizin, sementara proses perizinannya ada di Kemenag dan sudah berjalan melampaui tenggat waktu standar operasional perizinan yang hanya 14 hari.
Bambang mengatakan, tapi uniknya, ada lembaga zakat lain yang bisa diproses cepat perizinannya oleh Kemenag. Misalnya lembaga zakat di bawah perusahaan milik pengusaha besar.
"Apakah ini (Kemenag mengeluarkan data 108 lembaga) mengacu akan mempermudah proses pendampingan dan pendidikan Kemenag kepada masyarakat yang mengelola zakat bahkan sejak sebelum adanya UU Nomor 23 Tahun 2011," ujarnya.
Bambang mengungkapkan, sebenarnya secara kultural bukan hanya 108 lembaga yang dirilis Kemenag. Seluruh masjid yang ada di Indonesia ini adalah entitas pengelolaan zakat secara kultural dan sudah berjalan dalam jangka waktu yang panjang, tidak semuanya mendapatkan izin untuk secara resmi menjadi lembaga amil zakat. Itu masjid-masjid masuk daftar yang mana, kenapa fokus ke 108 lembaga zakat.
Bahkan ada pesantren-pesantren yang menyelenggarakan pengelolaan zakat. Sementara di wilayah tersebut ada Baznas tingkat kota, kabupaten dan lembaga zakat nasional juga ada di sana.
"Jadi agak sulit kami sebenarnya memahami tujuan akhirnya (Kemenag), dan yang paling krusial adalah apakah rilis 108 lembaga itu otomatis menciptakan peningkatan kepercayaan publik terhadap lembaga zakat yang resmi, dan meninggalkan lembaga zakat yang sudah dia percayai meskipun secara regulasi belum terselesaikan proses perizinannya," jelas Bambang.
Bambang mengungkapkan, dengan dirilisnya 108 lembaga oleh Kemenag, apakah malah menimbulkan keengganan publik berzakat kepada seluruh lembaga zakat. Jadi tidak menciptakan peningkatan kepercayaan kepada lembaga zakat resmi maupun kepada badan amel zakat negara, baik di tingkat nasional, provinsi maupun kota dan kabupaten. Sehingga justru beban dan tugas untuk menyiarkan kewajiban zakat dan membayarnya melalui lembaga menjadi lebih berat dan menantang.
"Ini agak sulit saya untuk mencernanya (tujuan Kemenag), jadi saya pikir posisi Forum Zakat hari ini adalah dibentuk untuk memfasilitasi teman-teman lembaga dan yayasan yang punya keinginan untuk mengelola dana zakat atau yang secara historis sudah mengelola zakat tapi kemudian belum dikeluarkan izinnya oleh Kementerian Agama melalui mekanisme UU Zakat Nomor 23 Tahun 2011," ujar Bambang.
Bambang menegaskan, FOZ tetap konsisten untuk mendampingi proses teman-teman lembaga tersebut dan berkomitmen untuk menjalankan pengelolaan zakat berbasis regulasi yang sesuai. Jadi FOZ bukan tidak menganjurkan, mengkampanyekan, dan menggerakkan agar ada pengelolaan zakat yang tidak mengacu pada regulasi.
"Ini konteks di lapangannya justru bagi FOZ mengumpulkan teman-teman menjadi member FOZ dalam sebuah forum itu jauh lebih mudah mengontrol proses pengelolaan zakat mereka, sebagai portofolio untuk pengajuan izin, dibanding kalau mereka terserak di luar sana kemudian tidak bisa dikontrol baik secara etis maupun melalui tata kelola yang disepakati oleh forum," ujarnya.
FOZ berharap Kemenag bisa memberikan penjelasan yang lebih detail tentang adanya angka 108 lembaga yang sebenarnya lebih sedikit dibandingkan realitas lembaga-lembaga mengelola zakat secara kultural, yang belum mengajukan izin dan belum mendapatkan izin.
"Di beberapa data yang saya lihat juga ada kecenderungan lembaga-lembaga yang sudah besar yang belum dikeluarkan izinnya oleh Kementerian Agama dan Baznas berdasarkan testimoni yang disampaikan oleh teman-teman malah sudah didekati dulu untuk menjadi UPZ," ujarnya.
Ia mengatakan, jadi UPZ ini salah satu aturan regulasi yang bisa digunakan sebagai standar legal, hanya saja fungsi dan perannya berbeda. Kalau ia adalah lembaga zakat resmi, sudah didekati agar menjadi UPZ, apakah ada tendensi untuk menjadikan semua lembaga dengan kearifan zakat yang sudah mapan dan penghimpunan yang besar menjadi UPZ.