REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pertamina Geothermal Energy (PGE) menyatakan Indonesia mempunyai peluang besar mengoptimalkan kekayaan panas bumi atau geothermal secara ekonomis di tengah kampanye transisi energi.
"Saya percaya dunia mau menuju ke energi bersih, jadi peluang (geothermal) juga semakin besar," kata Direktur Eksplorasi dan Pengembangan PGE Rachmat Hidayat melalui keterangan tertulisnya pada Senin (30/1/2023).
PGE menyebutkan potensi panas bumi makin dilirik sebagai energi alternatif pengganti bahan bakar fosil. Dalam konteks itu, Indonesia diuntungkan karena memiliki harta karun berupa potensi panas bumi yang melimpah.
Mengutip data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sumber daya panas bumi Indonesia ditaksir mencapai 23.965,5 megawatt (MW) atau sekitar 24 gigawatt (GW), nomor dua terbesar di dunia setelah Amerika Serikat.
Rachmat mengklaim bahwa saat ini, PGE merupakan salah satu perusahaan geothermal terbesar di dunia. "Kapasitasnya 2,3 gigawatt, hampir 82 persen berasal dari PGE. Ada yang dilakukan sendiri dan ada yang dilakukan oleh partner PGE," ujarnya.
Sementara, berdasarkan laporan keuangan per 2021, pendapatan PGE tercatat sebesar 369 juta dolar AS atau setara dengan Rp 5,71 triliun (asumsi kurs Rp 15.500 per dolar AS).
Geothermal, lanjut dia, merupakan suplai energi terbaik untuk PLN. Hal itu bisa dibuktikan ketika terjadi pemadaman.
"Geothermal itu singkat ketika pengisian. Tidak seperti batu bara yang membutuhkan waktu lama, geothermal bisa langsung dan stabil. Jadi tidak ada intermiten, tidak mengenal siang dan malam," kata Rachmat.
Selain listrik, ia menjelaskan geothermal juga memiliki banyak produk turunan yang dapat dimanfaatkan dalam keseharian, mulai dari agro wisata, mineral "silica" untuk produk kecantikan hingga "green amonia" sebagai bahan bakar tanpa karbon.
Saat ini, PGE memiliki sebaran wilayah kerja di tiga pulau, yakni Sumatera (Medan, Bengkulu, Lampung, dan Sumatera Selatan) serta Jawa Barat dan Sulawesi. "Harapannya ketika dibuka tender lain, PGE juga bisa hadir di daerah timur Indonesia," kata dia.
Adapun, kata dia, pilar bisnis PGE saat ini masih bertumpu pada beberapa wilayah kerja "existing". Namun, PGE ke depan akan terus berekspansi dengan mengembangkan ke area baru.
"PGE juga belajar 'bioelectricity' supaya makin variatif. Semoga momentum dan peraturannya semakin ada dan jelas supaya peluang bisnisnya bertambah besar," tuturnya.
Sedangkan soal pendanaan, ia mengatakan PGE tidak mengalami hambatan berarti. "PGE itu 'cash low' dan selalu memiliki biaya yang cukup. Pembiayaan PGE datang dari internal, eksternal, dan multinasional," ungkap dia.
Kendati demikian, ia mengakui masih ada sederet tantangan yang dihadapi PGE, terutama dalam hal peningkatan kapasitas produksi dan daya serap geothermal yang dihasilkan.
"Tantangan PGE adalah meningkatkan kapasitas dengan masif untuk penyerapannya. Ada beberapa daerah yang 'demand'-nya masih kuat, untuk pulau Jawa 'supply'-nya juga oke. Sebagai pengusaha, kami optimistis mencari celah-celah yang bisa dimanfaatkan," ucapnya.